Tangerang Selatan, 13 Juni 2024 –
Tangerang Selatan panas hari ini, bukan karena cuaca, tapi karena gelombang cinta orangtua pada pendidikan anaknya tumpah ruah di Kantor Dukcapil. Sekitar 600 lebih orangtua rela jadi pasukan gerilya—memburu legalisir akta lahir demi satu hal sakral: PPDB.
—
Legal Akta Lahir, Tak Legal Kalau Pakai Ngantri Bar-bar
Mereka datang dari pagi buta, bahkan ayam tetangga pun belum bangun. Antri sambil bawa anak, bawa map, bawa bantal mungkin juga. Sebagian dapat nomor antrian, sebagian dapat emosi.
Gareng nyeletuk:
> “Ini antri akta atau audisi Indonesian Idol? Sampe nomor 638, loh!”
Salah satu orangtua yang berhasil dapat nomor berseru:
> “Alhamdulillah, saya nomor 638! Tinggal nunggu kayak nunggu jodoh.”
—
Tukang Fotokopi Kaya Mendadak, Petugas Ngos-ngosan
Di sekitar lokasi, bisnis tukang fotokopi semerbak harumnya. Kertas fotokopi, materai, bolpen, dan jasa penjepit kertas naik daun.
Yang enggak naik? Kesabaran rakyat.
Petruk komentar sambil minum es kelapa:
> “Dukcapil rame, fotokopi rame. Yang sepi itu… efisiensi birokrasi.”
—
PPDB: Pendaftaran Penuh Derita dan Beban?
Semua ini demi PPDB—Penerimaan Peserta Didik Baru. Tapi kok rasanya kayak ujian orangtua masuk surga.
Warga rela ngantri, kepanasan, lapar, kadang lupa udah tua. Demi satu lembar kertas yang di cap “Sah”.
Gareng:
> “PPDB tuh kayak Piala Dunia. Tiap empat tahun pasti rame. Tapi kok urusannya dari dulu gitu-gitu aja?”
—
Negara Hukum, Tapi Masih Hobi Cap & Materai
Petruk heran:
> “Kita udah mau masuk era kecerdasan buatan, tapi urus legalisir masih kayak zaman VOC.”
> “Ngapain semua harus dilegalisir? Bukankah data itu udah ada di database Dukcapil? Lah, kalau udah online, kenapa rakyat masih offline di lapangan?”
—
Kritik Lembut Penuh Cinta Untuk Negara:
1. Digitalisasi tapi setengah hati
– Masih banyak dokumen yang gak bisa diverifikasi tanpa cap dan tanda tangan basah. Ini zaman barcode, bukan zaman stempel jengkol.
2. Pendidikan gratis, tapi perjuangannya bikin trauma
– Orangtua sampe cuti kerja, naik ojol pagi-pagi, rela gak sarapan. Gratis sih, tapi bayarnya di waktu dan tenaga.
3. Edukasi digital rendah
– Banyak warga gak ngerti alur, akhirnya datang langsung, tumpah ruah, dan bingung bareng.
—
Usul Gareng & Petruk:
Bikin sistem antrean online, bukan antrean adu sabar.
Verifikasi dokumen cukup daring, jangan bikin rakyat keliling dunia demi satu cap.
Libatkan RT/RW dalam validasi lokal, bukan semua dilempar ke Dukcapil.
—
Penutup Penuh Harap dan Humor
Gareng berseru sambil menatap cakrawala:
> “Kalau orangtua rela kayak gini demi satu legalisir, negara seharusnya malu kalau pelayanannya masih lemot.”
Petruk menambahkan:
> “Legalisir akta bukan sekadar kertas, tapi bukti cinta orangtua. Tapi, kalau negara terus bikin susah, rakyat bisa kehilangan sabar. Dan kalau sabar rakyat habis… tinggal doa yang bisa menyelamatkan.”
—
Garengpetruk.com – Ketawa boleh, tapi negara jangan pura-pura tuli.
Karena rakyat yang cinta pendidikan tak boleh terus dicintai dengan antrian dan keringat.