Klaten – Di negeri yang warganya bisa hafal nama-nama pemain sinetron tapi bingung buang sampah organik ke mana, DPRD Klaten akhirnya angkat suara (dan juga mic), dalam sosialisasi Perda Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Acara ini digelar selama tiga hari, dari Senin hingga Rabu, dan menyasar seluruh kecamatan se-Klaten, karena ternyata masalah sampah ini bukan hanya urusan rumah tangga, tapi sudah jadi urusan rumah tangga masyarakat… dan mantan.
Wakil Ketua DPRD Klaten, Bapak Bahtiar Joko Widagdo, dengan semangat yang hampir seperti ustaz kondang sebelum iklan obat herbal, menyampaikan bahwa pengelolaan sampah itu penting. Sangat penting. Penting sekali. Kenapa? Karena kalau enggak, TPA Troketon bisa overload. Dan Klaten? Bisa darurat. Bukan darurat cinta, bukan darurat cuaca, tapi darurat sampah. Bayangno, darurat sampah! Apik tenan.
“Kita ini sudah ngobrol sama investor, ada lima yang mau masuk,” ujar Pak Bahtiar dengan penuh harap, seakan TPA Troketon itu calon menantu yang harus dipoles biar dilamar. Tapi ya jangan lupa, Pak, jangan sampai Troketon malah jadi rebutan, bukan karena potensi ekonomi, tapi karena jadi tempat wisata horor: Gunung Sampah Klaten.
Yang menarik dari sosialisasi ini, DPRD mendorong edukasi mulai dari tingkat bawah, dari RT, PKK, sampai grup WA keluarga yang isinya cuma kiriman video lucu dan pesan berantai. Mereka berharap ada pemilahan sampah, bukan cuma pemilahan netizen antara pro dan kontra pemerintah.
“Yang bisa didaur ulang, ya didaur ulang, jangan asal buang. Jangan sampai yang harusnya jadi uang malah dibuang,” tambah Pak Bahtiar, yang sepertinya sempat baca quotes motivasi di Instagram sebelum wawancara.
Tapi di balik semangat sosialisasi ini, mari kita jujur. Tantangan terbesarnya bukan teknis, tapi mentalitas. Banyak warga yang kalau buang sampah asal lempar, tapi kalau buang perasaan ditimbang-timbang. Sampah dicampur, hati dipilah. Ironi sejati.
Pak Bahtiar juga bilang kegiatan ini harus terus dilakukan. Jangan cuma kayak “obor blarak”—panas di awal, tapi padam sebelum sempat masak air. Dan di sinilah kritik halus (atau mungkin kasar tapi dibungkus humor) kita sampaikan: jangan cuma gencar sosialisasi pas mendekati tahun politik. Jangan sampai sampah hanya jadi komoditas buat kampanye dan pencitraan.
Kalau boleh usul, DPRD juga bisa bikin sayembara: siapa yang bisa buang sampah sesuai jenisnya selama seminggu penuh, dapet sertifikat warga unggulan plus foto bareng lurah. Bisa juga pakai sistem poin kayak di aplikasi belanja, yang rajin pilah-pilah sampah, dapet diskon beli tempe.
Dan satu lagi: tolong dong, TPA Troketon jangan cuma nunggu investor. Kenapa enggak kita dorong inovasi lokal? Ajak anak muda bikin startup pengelolaan sampah. Atau bikin reality show: Survivor Troketon Edition. Dijamin viral.
Akhir kata, semoga Perda ini bukan cuma jadi dokumen yang dipajang di rak, tapi benar-benar diterapkan. Dan semoga kita, masyarakat Klaten, bisa mulai dari yang kecil—dari rumah, dari diri sendiri, dari sampah sisa mie instan semalam. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, ya… bisa overload lagi.
Sampah bisa diolah. Tapi omong kosong? Ya
tinggal buang aja, Pak.