“Hukum tanpa keadilan adalah kekerasan yang dilembagakan.”
— Montesquieu
Di ruang-ruang kuliah Fakultas Hukum, mahasiswa baru diperkenalkan pada asas-asas hukum, teori positivisme, dan rentetan pasal per pasal dari berbagai peraturan perundang-undangan. Namun, jarang sekali—atau mungkin terlambat—keadilan dibahas secara mendalam sebagai premis utama dari hukum itu sendiri. Pertanyaannya: mengapa kita mempelajari hukum terlebih dahulu, bukan keadilan? Bukankah hukum lahir dari hasrat manusia akan keadilan?
Hukum atau Keadilan: Mana yang Datang Lebih Dulu?
Pertanyaan ini mengandung dialektika klasik antara filsafat moral dan doktrin legal formalism. Apakah hukum (positif) mendefinisikan keadilan? Atau justru keadilanlah yang seharusnya menjadi dasar pembentukan hukum?
Jika kita melihat sejarah, hukum sering kali lahir dari kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan sosial. Namun dorongan di balik kebutuhan itu adalah keinginan akan keadilan—keinginan agar manusia diperlakukan setara, agar hak dilindungi, dan agar yang lemah tak diinjak yang kuat. Maka, bisa dikatakan bahwa secara ontologis, keadilan lebih dahulu hadir dalam kesadaran manusia daripada hukum sebagai teks dan sistem.
Mengapa Hukum Seringkali Tak Menyentuh Keadilan?
Kita menyaksikan dalam praktik: pasal demi pasal ditegakkan, namun rasa keadilan di masyarakat tak kunjung terpenuhi. Putusan pengadilan kadang terasa kering, terlalu formalistik, bahkan mengabaikan konteks sosiologis atau moral. Ini menimbulkan krisis kepercayaan: masyarakat merasa hukum bukan milik mereka, melainkan milik penguasa atau elit tertentu.
Ada beberapa sebab utama:
1. Dominasi Positivisme Hukum
Hukum dianggap sah karena dibuat oleh lembaga yang sah, terlepas dari isinya adil atau tidak. Ini membuat hukum sering kali kehilangan roh moralnya.
2. Keterbatasan Perangkat Hukum
Hukum tidak selalu dapat menjangkau kompleksitas nilai-nilai dalam masyarakat. Keadilan bersifat dinamis dan kontekstual; hukum bersifat statis dan umum.
3. Politik Legislasi
Tidak semua hukum dibuat untuk keadilan publik; beberapa dibuat demi kepentingan politis, ekonomi, bahkan kelompok tertentu.
Keadilan: Jalan Menuju Reinterpretasi Hukum
Namun sebaliknya, ketika kita mengedepankan keadilan sebagai nilai utama, kita dipaksa untuk tidak hanya membaca pasal, tetapi juga menafsirkan semangatnya. Inilah yang dilakukan para hakim progresif, akademisi kritis, dan gerakan sosial yang memperjuangkan hukum berbasis nilai kemanusiaan.
Keadilan tidak hanya menyentuh hukum, tapi dapat menuntun hukum untuk berubah, beradaptasi, dan menyempurnakan dirinya. Dengan keadilan, hukum menjadi lebih dari sekadar aturan; ia menjadi alat emansipasi, bukan dominasi.
Penutup: Usulan Kurikuler dan Kultural
Barangkali sudah saatnya Fakultas Hukum menyusun ulang prioritas kurikulumnya. Mengapa tidak memulai pembelajaran hukum dari diskursus keadilan: dari Plato, Aristoteles, Ibn Khaldun, Al-Ghazali, hingga Rawls dan Amartya Sen? Mengapa tidak menjadikan “apa itu adil” sebagai soal pertama sebelum “apa isi pasal ini”?
Dengan begitu, kita tidak melahirkan teknokrat hukum semata, tetapi para jurist yang sadar nilai, yang menjadikan keadilan sebagai bintang penunjuk arah, bukan sekadar dokumen konstitusi yang dingin dan jauh dari nurani rakyat.
Akhir Kata
Mungkin kita memang perlu berhenti sejenak mempelajari pasal-pasal, dan kembali bertanya: untuk siapa hukum itu dibuat? Apakah hukum masih mengabdi pada keadilan, atau sudah menjadi alat kekuasaan?
Jawaban atas pertanyaan itu tak harus seragam. Tapi diskusinya harus dimulai. Dan tempat terbaik memulainya adalah di Fakultas Hukum, tempat calon penjaga keadilan negeri ini dipersiapkan.
















