JEMBER – Di Dusun Kaliputih, Rambipuji, angin tak sekadar bertiup dari selatan, tapi juga dari ruang rapat! Tiga kali Rakor digelar, tiga kali juga warung-warung tak berizin di atas lahan Perhutani masih berdiri manis, seakan-akan ikut lomba bertahan hidup di zona rawan gusur. Gareng bilang, “Ini warung atau reality show Survivor versi desa?”
Warung-warung itu, kata petugas Perhutani Agus K, dulunya cuma satu dua, eh, tahu-tahu jadi rombongan kaya konser dangdut kampung. Lucunya, yang dagang bukan warga Rambipuji, tapi tamu tak diundang dari luar desa. Agus pun geleng-geleng, “Perhutani kagak pernah kasih izin, apalagi narik retribusi. Lah ini siapa yang ngasih karpet merah?”
Lampu Nyala, Izin Gelap
Topa dari PLN Rambipuji juga ikut pusing. 28 warung sudah dipasangin penerangan resmi—prosedur lengkap, tinggal SK-nya Tuhan. Tapi soal pemutusan listrik? PLN mah ngikut aja. “Kalau nanti diminta cabut, ya kami cabut. Tapi nunggu instruksi dari yang merasa punya kuasa,” katanya sambil nyender ke tiang listrik, lelah batin dan fisik.
Polisi & TNI Siaga, Tapi Ramah
Wakapolsek Rambipuji, Pak S. Hadi.P, mantap betul dalam sambutannya. “Kami dari kepolisian dan Koramil akan kawal program ini. Tapi ingat, jangan sampe ada yang nangis guling-guling di tanah!” katanya tegas namun diplomatis, karena tahu warga sekarang sensitif—harga cabai naik, bensin naik, warung dibongkar pula!
Pak Sumar: “Saya Dagang Bukan karena Hobi!”
Pak Sumar, salah satu pemilik warung, wajahnya seperti krecek kebanyakan kuah—lemes tapi tetap hangat. Ia mengaku pasrah. “Saya tahu ini tanah Perhutani. Tapi saya cuma cari makan, Pak. Anak saya lima, istri satu, utang dua.” Ia berharap pemerintah kasih solusi, bukan cuma ultimatum. “Kalau bisa, kami dikasih tempat yang bisa dibongkar pasang. Syukur-syukur dapat kios permanen, biar anak saya gak dagang mimpi doang.”
Camat Absen, Tapi Tetap Nyambung
Camat Rambipuji, Pak Djoni Nurtjahjono SH, walau berhalangan hadir karena urusan desa sebelah, tetap nimbrung lewat telepon. “Kami ikut prosedur, ikut instruksi provinsi, ikut koordinasi. Kami ini tim ikut-ikutan yang sah,” katanya sambil menegaskan bahwa semua pihak sudah satu suara… ya walaupun belum satu solusi.
Gareng dan Petruk Bergumam: “Semoga Jangan Cuma Bongkar, Tapi Juga Bangun Harapan”
Gareng, yang sejak tadi duduk sambil nyeruput kopi sachet di dekat tumpukan gorong-gorong, bergumam, “Warung-warung ini memang ilegal, tapi bukan berarti rakyatnya layak disingkirkan begitu saja. Negara harus hadir bukan cuma buat ‘membongkar’, tapi juga ‘membangun’.”
Petruk nyeletuk, “Kalau rakyat dikejar terus tanpa solusi, nanti yang lari bukan cuma pedagang, tapi juga kepercayaan.”
Akhir kata: Rakor boleh tiga kali, tapi jangan sampai rakus pada kewenangan dan lupa rakyat kecil yang nyari sesuap nasi dari tenda biru yang nyempil di pinggir hutan. Semoga solusi gak mampir di kertas rapat doang.
Salam rakyat, salam rakor, salam rakyat brooo!