Sore itu, langit Situbondo berwarna oranye, ayam tetangga baru saja kelar nyolong nasi bungkus, dan Gareng Petruk sedang melatih jurus loncat-loncat di atas meja makan padepokan Surya Kanta — jurus andalan buat menghindari tagihan warung. Tapi tiba-tiba, dari arah barat daya angin bertiup kencang, disusul raungan motor Ninja yang suaranya seperti singa lapar yang lagi pilek.
BRAK!
Seorang pemuda gagah rupawan—kulit coklat kopi, rambut klimis semir nyaris habis, jaket hitam berlogo “CAKRA”—meloncat dari motornya tanpa rem tangan, tanpa pencitraan.
Gareng, yang kaget nyaris salto ke dalam bak mandi, langsung bertanya:
“Sopo koe, cah bagus? Kowe nabrak nasib opo nabrak anggaran?”
Si pemuda itu tersenyum seperti pahlawan telenovela, lalu menjawab:
“Saya Nofika Syaiful Rahman, Ketua DPC LBH CAKRA Situbondo. Biasa dipanggil Opiek Cakra, atau Janoko versi hukum. Saya datang bukan cari jodoh, tapi cari keadilan!”
Gareng menyandarkan diri di kursi rotan, lalu bertanya,
“Lhoh, tumben kok langsung loncat? Kene ono kasus opo maneh iki?”
Opiek menarik napas seperti tokoh utama drama Korea, lalu berkata:
“Pada 14 Mei 2025, kami kirim surat resmi ke BPK Perwakilan Jawa Timur. Bukan surat cinta, tapi permintaan akses informasi publik. Kami pengen tahu hasil pemeriksaan atas 8 proyek bina marga tahun 2024. Tapi sampai sekarang, balasannya masih level WA dan telpon, belum ada surat resmi. Padahal, kami bukan PDKT!”
Gareng manggut-manggut, lalu nyeletuk:
“Iki mah bukan transparansi, tapi ghosting tingkat kabupaten!”
Menurut Opiek, ada chemistry mencurigakan antara Dinas PUPR Situbondo dan para rekanan. Mirip sinetron kolosal: banyak senyuman, tapi isi dompet rakyat nggak nambah. LBH CAKRA ingin mencocokkan laporan audit BPK dengan hasil investigasi tim mereka di lapangan. Tapi tanpa akses LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan), publik hanya disuguhi kabut, bukan kejelasan.
“Kami hanya ingin transparansi!” ujar Opiek, sambil menepuk meja seperti hakim di sidang.
“BPK itu Badan Pemeriksa Keuangan, bukan Badan Pelindung Kontraktor!”
Gareng menyeka air matanya (bukan karena terharu, tapi kepedesan makan tahu petis), lalu bergumam:
“Lah piye negara iso bersih, nek lembagane doyan sembunyi-sembunyi. Iki rapat paripurna opo rapat geng motor?”
Sambil membasuh wajah dengan kembang seribu rupa, Opiek menegaskan hak konstitusional rakyat berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban!
“Situbondo katanya ‘tak congocoah, tak cok ngeco’a’. Tapi kalau laporan disembunyikan, rakyat kudu ngintip lewat celah genteng?” sindir Opiek sambil merapikan jaket.
Di ujung padepokan, Gareng Petruk terdiam. Bukan karena kehilangan kata-kata, tapi karena melihat semangat seorang anak muda yang tidak loncat dari tanggung jawab, tapi justru meloncat demi keadilan. Semar di pojokan cuma bisa melongo, takut Opiek teriak-teriak sampai dapur padepokan retak.
—
GarengPetruk.com menyimpulkan:
Kalau pemuda bisa loncat dari motor demi transparansi, maka lembaga negara juga wajib loncat dari zona nyaman dan mulai buka data. Situbondo bukan panggung sandiwara, dan rakyat bukan penonton sinetron yang cuma bisa menebak-nebak siapa aktor utamanya.
BPK, Dinas PUPR, dan kawan-kawan:
Buka datamu, sebelum rakyat buka suara keras-keras!
(Redaksi Gareng Petruk – Siap naik motor transparansi, asal gak pakai knalpot brong)