Cawan, Klaten – Suasana Minggu pagi, 22 Juni 2025, di halaman Pondok Tahfidz dan Pesantren Modern (PTPM) Al-Huda dan RTM Daarul Falah tampak semarak. Bendera-bendera berkibar, wajah-wajah berseri, dan sandal-sandal terparkir rapi penuh harap. Bukan buat rebutan sembako, tapi wisuda Tahfidz Al-Qur’an—sebuah acara sakral nan membanggakan, dengan tema manis: “Al-Qur’an di Hati, Kini dan Nanti, Menyongsong Generasi Al-Qur’an.”
Yang hadir pun bukan sembarang orang. Ada Staf Ahli Bupati Klaten, Kepala Kemenag, Forkopimcam, tokoh masyarakat, dan tentu saja… para wali santri dengan kamera HP full storage siap mengabadikan anak-anak mereka yang insyaAllah hafal Qur’an, meski belum tentu hafal letak charger HP semalam.
Ustadz Isrofil, S.Ag., Ketua Panitia yang tampil penuh semangat, menyampaikan sambutan penuh makna. Beliau berharap para santri terus termotivasi dan menjadi agen perubahan positif. Tapi dalam hati kita bertanya: Santrinya sudah hafal Qur’an, tapi kapan para pemimpin kita hafal sumpah jabatan?
“Saya berharap dengan kegiatan ini, para santri semakin termotivasi untuk berprestasi dan membawa perubahan yang positif di dalam lingkungan sekitar,” ujarnya penuh harap.

Camat Jatinom, Agus Sunyata, S.SiT., MH., pun menyampaikan petuah bijak tentang para leluhur hebat di Jatinom dan potensi pondok pesantren yang luar biasa. Kita mengangguk-angguk—karena benar juga, negeri ini butuh pemimpin solih-solihah. Tapi ya itu tadi, hafal Qur’an penting, tapi hafal harga cabai juga jangan lupa.
“Semoga anak-anak ini semua menjadi pemimpin bangsa yang bisa membawa masyarakatnya menuju Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur,” kata Pak Camat sambil menatap masa depan—semoga bukan sekadar basa-basi protokoler.
Acara ditutup dengan doa bersama, penuh khidmat. Setelahnya, momen yang ditunggu: ramah tamah dan foto-foto. Ada yang menangis haru, ada yang senyum malu, ada juga yang sibuk cari sinyal. Di antara pelukan dan swafoto, semesta seolah berbisik: “Lihatlah, ini generasi harapan. Tapi jangan lupa, harapan butuh ruang dan kebijakan, bukan hanya seremoni dan foto bareng.”

Sindiran Tipis-tipis ala Petruk:
Petruk, yang dari tadi ngintip dari balik genteng, nyeletuk lirih,
“Santriné wis apal Qur’an, tapi sing dadi pejabat isih apal janji kampanye tok. Wisuda tahfidz saben taun, tapi hukum adil durung lulus ujian.”
Lha piye? Santri sudah hafal ayat demi ayat, tapi negeri masih amnesia pada sila-sila Pancasila. Kalau Al-Qur’an ditanamkan di hati, semoga kebijakan juga tak sekadar di bibir, tapi benar-benar jadi amal—bukan hanya di hari Minggu pas acara TVRI.
Penutup ala Gareng:
Mari kita syukuri wisuda ini. Karena masih banyak anak muda hafal lagu TikTok, tapi lupa surat Al-Fatihah. Maka kepada para santri yang diwisuda: selamat! Jangan hanya hafal Qur’an, tapi hiduplah seperti Qur’an. Dan kepada para pemangku jabatan: belajar sama santri yuk! Mereka hafal 30 juz, sampeyan hafal 30 cara ngeles waktu ditanya rakyat.
Karena negeri ini butuh lebih banyak penghafal Qur’an, dan lebih sedikit penghafal alasan.
Ditulis dengan tawa, diselingi doa, disisipkan cinta untuk bangsa.
Gareng Petruk, melaporkan dari balik panggung, sambil nguping sambutan dan nyruput kopi.
















