SURABAYA – Di tengah panasnya Surabaya yang serasa dikecup matahari langsung, hadir oase seni yang menyejukkan hati dan menyengat pikiran: Pameran Seni Rupa Lintang Lima bertajuk njawani banget, “Rasa Rasaning Karsa” di Galeri Merah Putih, Balai Pemuda, Alun-Alun Surabaya.
Jangan bayangkan ini cuma acara pameran biasa. Ini adalah pementasan rasa, kritik halus nan tajam, dan tentunya penuh gaya wong Jowo yang nggenah dan ngguyoni. Di tengah gedung-gedung yang biasa jadi tempat rapat wakil rakyat (dan kadang tempat tidur siang), Galeri Merah Putih jadi panggung bagi lima bintang seni: Eddy Soebroto, Evrie Irmasari, Yosie Chatam, Tara Noesantara, dan Yans Harso Darmista.
Dari Bintang ke Lintang: Supaya Jawamu Ora Kesasar
Kata Yosie Chatam, dulunya mereka pakai nama “Bintang”, tapi kemudian jadi “Lintang”. Biar lebih kena dan tetap njawani. “Lintang” itu bukan sekadar bintang, tapi penunjuk arah. Dan Lintang Lima adalah lima seniman yang memilih berkarya sebagai suluh, bukan selebgram seni. Mereka bukan Pandawa Lima, tapi ya punya kekuatan masing-masing—bedanya mereka melawan kekacauan lewat kuas dan rasa, bukan keris dan wayang.
Lintang Lima ini kayak nasi kucing: kecil-kecil, tapi ngenyangke dan penuh rasa. Apalagi kalau disantap pas lapar batin—makjleb!
Roso, Rasaning, Karsa… Njawani Sak Pol!
Kuratornya siapa? Bukan sembarang. Heti Palestina Yunani, nama yang sudah meletup-letup seperti Gunung Merapi dalam kepala para penikmat seni. Menurut Mbak Heti, pameran ini bukan tujuan akhir, tapi bagian dari perjalanan. Rasa Rasaning Karsa dibaca “Roso Rasaning Karso” adalah ajakan kembali pada nilai-nilai Jawa sejati. Jangan cuma jadi Jawa KTP doang, tapi jadilah Jawa yang bisa merasakan, memahami, dan bergerak. Karena kalau diam terus, nanti ketinggalan rezeki dan rasa.

Tikus Phiti, Palu Keadilan, dan Sindiran yang Nylekit
Salah satu karya yang bikin pengunjung terdiam adalah lukisan “Tikus Phiti Anoto Baris” karya Yosie Chatam. Lukisan ini memajang tikus-tikus berdasi mengelilingi palu keadilan. Tapi bukannya menjaga, mereka malah kelihatan santai, cuek, dan sebagian malah membelakangi. Jelas ini bukan soal fauna, tapi sindiran untuk mereka yang seharusnya jadi penjaga keadilan tapi malah asyik sendiri.
Gareng nyeletuk: “Iki tikus kok ora takut palu, malah dikitari? Wah, iki tikus kekinian, rek. Sudah kebal OTT!”
Petruk menimpali: “Jangan-jangan itu lukisan koleksi baru DPR?”
Sambutan Sang Profesor dan Hadiah yang Berarti
Prof. Dr. H. Suparto Wijoyo yang hadir di pembukaan menyampaikan sambutan penuh makna. Katanya, Lintang Lima ini bukan cuma komunitas, tapi suluh kehidupan. Lukisan Candi Singasari yang ia terima jadi simbol kebangkitan. Sementara Mbak Heti mendapat lukisan Gunung Merapi yang katanya melambangkan isi kepalanya yang penuh ide-ide meletup.
Pak Profesor juga menyampaikan bahwa Unair siap membuka ruang untuk pameran seni rupa. Hore! Akhirnya kampus bukan cuma tempat ujian dan skripsi, tapi juga ruang seni yang njawani!
Teh Seruni, Pala Pendem, dan Sego Kucing yang Saklangit
Acara ditutup dengan suguhan khas yang bikin hati mak nyess. Ada teh seruni warna oranye yang segernya nembus kerongkongan. Terus ada pala pendem dan… sego kucing! Kecil-kecil isi tempe dan teri, tapi rasanya? Wah, mewah! Gak perlu catering hotel bintang lima kalau ada sego kucing bintang rasa.
“Sego kucing ini seperti karya seni. Murah tapi dalam. Sak uklik tapi saklangit,” kata Wulan sambil nambah sebungkus lagi.

Sayang, Vatikan Tak Terlihat
Mbak Heti sempat bisik-bisik soal anaknya yang bernama Vatikan, mahasiswa ISI jurusan gitar klasik yang mau tampil di pembukaan. Sayangnya, Wulan gak sempat ketemu karena kelamaan ngelirik-lirik pameran di pelataran 1 Muharrom. Padahal udah siap foto bareng duet ibu-anak inspiratif ini. Tapi ya wis, mungkin ini namanya belum jodoh panggung.
Gareng nyeletuk: “Lukisan tikus itu harusnya ditaruh di depan KPK, biar para tamu langsung mikir: aku tikus apa bukan?”
Petruk nambahi: “Atau dikirim ke DPR, biar mereka tahu siapa yang lagi nongkrongin keadilan dari belakang!”
Pameran ini berlangsung hingga 3 Juli 2025. Yuk, datang dan resapi. Karena seni rupa bukan cuma tontonan, tapi juga renungan. Bisa jadi cermin, bisa juga cambuk. Dan ingat, rasa itu tidak bisa dibeli di e-commerce, tapi bisa ditemukan di Galeri Merah Putih!
Catatan khusus:
Jika ada tikus yang tersinggung karena disebut dalam lukisan, harap jangan sombong dulu. Mungkin Anda hanya kebetulan mirip.