Nurita H., SH, CCA, CLBC Bicara Tentang Polemik Pasal 378 dan 372
Weleh-weleh, lagi-lagi negeri ini heboh soal penerapan pasal-pasal yang sering jadi momok di ranah hukum: Pasal 378 tentang penipuan dan Pasal 372 tentang penggelapan. Kali ini, CEO Maps Lawyer Indonesia, Nurita H., SH, CCA, CLBC, menyampaikan pandangan tajamnya tentang kedua pasal ini, lengkap dengan analisa unsur dan penerapannya.
Analisa Pasal 378 dan Unsurnya
Menurut Pasal 378 KUHP, seseorang dinyatakan melakukan tindak pidana penipuan jika dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, ia memakai nama palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan untuk membuat orang lain menyerahkan sesuatu kepadanya.

Nurita menjelaskan, unsur utama Pasal 378 adalah:
- Adanya tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
Misalnya, pelaku membuat janji palsu atau dokumen palsu untuk meyakinkan korban. - Adanya kerugian pada pihak korban.
Kerugian ini harus konkret, bukan sekadar potensi kerugian. - Niat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Unsur ini menuntut pembuktian bahwa pelaku memang berniat mencurangi korban.
“Namun,” kata Nurita, “dalam praktiknya, batas antara penipuan dan pelanggaran kontrak sering kabur. Banyak kasus perdata yang ‘dipaksakan’ menjadi pidana dengan menambahkan Pasal 378. Ini sering terjadi dalam sengketa bisnis atau utang-piutang.”
Analisa Pasal 372 dan Unsurnya
Sementara itu, Pasal 372 KUHP mengatur tindak pidana penggelapan, yang terjadi ketika seseorang dengan sengaja memiliki barang orang lain secara melawan hukum, padahal barang tersebut berada dalam kekuasaannya bukan sebagai miliknya.
Unsur utama Pasal 372 meliputi:
- Adanya barang milik orang lain.
Barang tersebut harus jelas status kepemilikannya. - Barang berada dalam penguasaan pelaku secara sah.
Barang diterima pelaku dengan dasar hukum, misalnya sebagai pinjaman, titipan, atau kontrak. - Adanya niat untuk memiliki barang secara melawan hukum.
Niat ini biasanya dibuktikan dengan tindakan pelaku yang menyalahgunakan barang tersebut.
Menurut Nurita, “Pasal 372 sering disalahgunakan untuk memperkarakan sengketa perdata, terutama dalam kasus pinjam-meminjam. Padahal, hukum pidana tidak boleh digunakan sebagai alat menekan pihak lain dalam sengketa sipil.”
Penerapan di Lapangan: Antara Pisau Bermata Dua dan Alat Balas Dendam
Nurita menyoroti bahwa penerapan kedua pasal ini kerap jadi pisau bermata dua. Di satu sisi, pasal-pasal ini penting untuk melindungi masyarakat dari tindak kejahatan seperti penipuan investasi atau penggelapan dana perusahaan. Namun, di sisi lain, keduanya sering dipakai sebagai alat balas dendam dalam sengketa bisnis atau masalah personal.
“Misalnya, ada kasus utang-piutang. Pihak kreditur yang frustrasi karena gagal menagih utang sering melaporkan debitur dengan tuduhan penggelapan atau penipuan, padahal konteksnya lebih cocok masuk ranah perdata,” jelas Nurita.
Statement Penutup Nurita H, SH, CCA, CLBC
“Pasal 378 dan 372 adalah fondasi penting dalam KUHP, tapi keduanya harus diterapkan dengan hati-hati. Jangan sampai hukum yang seharusnya melindungi masyarakat justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau merugikan pihak lain. Saya mendorong aparat penegak hukum untuk lebih cermat dalam menganalisis setiap kasus agar tidak terjadi kriminalisasi yang melampaui batas kewajaran. Hukum harus menjadi pedang keadilan, bukan alat balas dendam. Kita semua harus menjaga integritas hukum demi keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Nah, Begawan, itu tadi wejangan dari Nurita H., tokoh hukum yang tak pernah lelah menyerukan keadilan. Semoga jadi renungan kita semua, ya!
















