> “Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh.”
—Albert Einstein
Di zaman yang serba canggih ini, manusia makin pintar, makin cepat, makin hebat. Tapi sayang seribu sayang, makin tidak punya rasa. Pinter otaknya, tapi hati kosong melompong. Ilmunya tinggi, tapi kemanusiaannya jeblok. Lihatlah Indonesia, negeri kaya raya, tapi dikuasai oleh manusia-manusia pintar yang kehilangan satu hal: perikemanusiaan yang adil dan beradab.
Kita bukan kekurangan doktor, profesor, jenderal, ustaz, pastor, atau pejabat. Kita kekurangan manusia. Yang benar-benar manusia. Yang bisa merasakan sakitnya orang lain, bukan cuma fasih pidato dan debat soal Pancasila.
—
Level Tertinggi: Pejabat Negeri, Pengatur Takdir Rakyat
Coba cek berita. Hampir tiap minggu ada pejabat korupsi. Uang rakyat dihisap seperti nyamuk menghisap darah balita. Katanya demi pembangunan, nyatanya buat beli rumah tiga lantai, mobil tujuh pintu, dan pelihara kucing impor dari Norwegia.
Contoh nyata?
Kasus BTS Kominfo: uang hampir Rp 8 triliun raib ke langit (2023).
Skandal tambang ilegal: merusak alam, menyuap aparat, mengusir warga lokal.
Dana bansos disunat saat pandemi: ketika rakyat lapar, para pejabat malah pesta di meja makan.
> “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.”
—Lord Acton
Pejabat kita bukan kekurangan kecerdasan. Mereka sekolah di luar negeri, doktor dari universitas top. Tapi akhlak dan empatinya seperti kabel putus—tak tersambung ke rakyat yang menderita.
—
Level Menengah: Rohaniawan dan Akademisi, Mulutnya Bersih Tapi Hatinya Penuh Debu
Kalangan rohaniawan? Jangan kira semua malaikat. Ada yang menjual surga dengan tarif transfer. Ada yang lebih sibuk cari panggung politik daripada menuntun umat.
Akademisi? Banyak yang berubah jadi buzzer akademik. Pikirannya tajam, tapi bukan untuk rakyat. Untuk proyek. Untuk konsultan. Untuk kekuasaan.
Lihat saja debat-debat publik: mereka saling lempar kutipan, tapi lupa mengutip nurani. Mereka punya kata-kata indah, tapi lupa bahwa kebenaran bukan soal teori, melainkan keberanian menyuarakan yang lemah.
> “Orang bijak bukan yang banyak berkata-kata, tapi yang bisa menjaga manusia dari luka.”
—Ali bin Abi Thalib
—
Level Rakyat Biasa: Antara Korban dan Komplotan
Rakyat biasa pun ikut larut. Ada yang pasrah, ada yang menyerah, dan tak sedikit yang ikut-ikutan jahat karena lapar dan marah. Di medsos, berita hoaks jadi sarapan. Fitnah jadi hiburan. Empati jadi konten.
> Rakyat kita pintar—terutama dalam hal meneruskan informasi yang salah, membela tokoh yang salah, dan marah pada hal yang tak penting.
Teknologi yang mestinya jadi jembatan jadi jurang. Gawai pintar dipakai buat konten bodoh. TikTok dijadikan seminar kebencian. Kecanggihan tanpa karakter seperti pedang di tangan anak kecil.
—
Pondasi Yang Roboh: Nasionalisme Tanpa Jiwa
Kita berteriak “NKRI harga mati!” tapi lupa bahwa nasionalisme bukan slogan. Itu sikap hidup. Itu keberanian berkata tidak pada kesewenang-wenangan. Tapi hari ini, nasionalisme hanya jadi wallpaper kampanye. Dipakai buat stempel, bukan kompas moral.
> “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.”
—Soekarno
Tapi kini, pahlawan yang dihormati adalah yang viral, bukan yang bermoral.
—
Teknologi Tanpa Jiwa: Jalan Menuju Kehancuran
AI, robotik, otomasi—semua sedang kita bangun. Tapi kalau karakter manusia tidak ikut berkembang, maka kita sedang menciptakan mesin pembunuh masa depan. Masyarakat kita sedang berubah dari beradab menjadi beradat, dari berhati menjadi berhitung.
> Menurut studi Pew Research (2023), 61% masyarakat dunia khawatir teknologi AI akan memperparah ketimpangan sosial.
Di Indonesia? Kita sibuk bikin filter muka glowing dan suara Google Translate lucu-lucuan.
—
Penutup: Indonesia Sedang Sakit, Tapi Masih Bisa Sembuh
Indonesia bukan kekurangan pemikir, tapi kekurangan perasa. Kekurangan pendengar. Kekurangan penangis. Kita butuh manusia yang bisa menahan tangis saat melihat sesama terinjak, bukan yang sibuk nyari angle terbaik buat selfie di tenda bencana.
Kata Jalaluddin Rumi:
> “Apa gunanya ilmu, jika tidak membimbingmu pada cinta?”
Dan kata Gareng Petruk:
> “Apa gunanya pintar, kalau akhirnya jadi alat penghancur bangsa sendiri? Wong edan sing waras ngalah, tapi kalau semua edan, waras kudu ngelawan!”
Mari kita bangun kembali Indonesia. Bukan dengan teknologi semata, tapi dengan hati. Dengan akhlak. Dengan kesadaran bahwa menjadi manusia lebih penting daripada sekadar menjadi cerdas.
—
Bogor, 11 Juni 2025
Nyruput kopi, sambil nulis di bawah pohon, nunggu matahari tak terlalu sinis ☕🌲