Suatu sore, saya duduk di warung kopi bareng Pak Parto dan Bu Lasi, pasangan sepuh yang sudah 50 tahun menikah. Mereka saling nyindir, saling ngeledek, tapi kalau salah satu sakit, yang lain langsung panik kayak kehilangan SIM.
Saya iseng tanya:
“Pak, kok bisa langgeng sampai tua gitu?”
Pak Parto jawab sambil ngisep rokok:
“Lha ya bukan karena cinta doang, Le. Tapi karena saling tahan-tahanan. Kadang pengin marah, tapi malah ngajak makan. Kadang pengin ninggalin, tapi malah nganterin ke puskesmas.”
Nah, dari situ saya sadar: menua bersama itu bukan drama cinta, tapi latihan spiritual harian.
Dan kalau ngomong soal spiritual, siapa lagi kalau bukan Sang Penyair Hati: Jalaluddin Rumi.
—
Menua Itu Bukan Soal Usia, Tapi Kedewasaan Jiwa
Rumi pernah bilang:
“Cinta bukan tentang saling memandang, tapi melihat ke arah yang sama.”
Kalau diterjemahkan ke bahasa warung kopi:
“Cinta itu bukan soal seneng tampang, tapi senasib tujuan.”
Menua bersama itu bukan tentang dua orang yang sama-sama keriputan, tapi dua jiwa yang tahu arah pulang. Bahwa hidup ini bukan panggung sandiwara terus, tapi tempat belajar ikhlas, sabar, dan saling menerima.
—
Kritik Halus: Banyak Menikah, Tapi Takut Sepi
Zaman sekarang banyak yang menikah karena deadline usia, bukan karena kematangan jiwa.
Pernikahan ramai di Instagram, tapi sepi di ruang tamu.
Sibuk ngejar foto prewedding, lupa latihan ngobrol tanpa HP.
Rumi bilang:
“Yang kamu cari di luar, sebenarnya cerminan dari yang hilang di dalam dirimu.”
Tapi sekarang, orang lebih pilih pasangan yang cocok feed-nya, bukan yang kuat saat dompet kosong dan hati hancur.
—
Tua Itu Bukan Malu, Tapi Madrasah Kehidupan
Begitu uban muncul, buru-buru disemir. Begitu keriput, buru-buru pakai filter.
Padahal Rumi pernah berkata:
“Jangan sedih karena kamu berubah. Semua berubah. Itulah cara cinta menunjukkan dirinya.”
Keriput itu bukan aib. Itu jejak perjalanan.
Bekas tawa, luka, harapan, dan kegagalan. Tua itu bukan musibah, tapi undangan untuk menyelami makna hidup yang sesungguhnya.
—
Cinta di Masa Senja: “Piring Kamu Aku Cuci Duluan Ya…”
Rumi mungkin tak pernah mencuci piring, tapi dia pasti paham:
Cinta itu bukan tentang puisi setiap hari, tapi soal siapa yang siap menunggu kamu bangun tidur, masih belekan dan ngomel-ngomel.
Cinta yang dewasa itu kayak:
“Sayang, obatmu udah aku siapin.”
“Atap bocor, ayo kita perbaiki bareng.”
“Atiku rapuh, tapi kamu jangan lelah.”
Itu bukan lagi cinta anak muda. Itu cinta para sufi. Cinta yang sudah paham, bahwa yang abadi bukan pelukannya, tapi doanya.
—
Penutup: Menua Bersama, Menuju Pulang dengan Tenang
Buat yang masih jomblo, jangan takut.
Menua bersama itu bukan selalu soal pasangan. Bisa dengan sahabat, keluarga, atau bahkan diri sendiri yang akhirnya kamu terima sepenuh hati.
Menua bersama itu soal berjalan seiring, seirama, dan saling ngerti.
Bukan siapa yang paling cantik, tapi siapa yang mau tetap duduk di sebelahmu waktu kamu sedang sepi, bau balsem, dan gak punya gigi.
Rumi bilang:
“Jangan berjalan di depanku, aku mungkin tidak bisa mengikutimu. Jangan berjalan di belakangku, aku mungkin tidak bisa memimpin. Tapi berjalanlah di sampingku, dan jadilah temanku selamanya.”
Mari menua bersama. Bukan hanya saling cinta, tapi saling sadar, saling merawat, saling melepaskan—dalam damai.
Karena kalau kita sudah gak bisa ngelus rambut pasangan kita lagi, semoga kita masih bisa bilang di liang lahat nanti:
“Aku pulang duluan ya, tunggu aku dengan tenang…”
— Gareng Petruk, santri rasa seniman, dan seorang suami yang sering di omelin istri.