Gareng, sobat karibku yang wajahnya sudah keriput tapi lidahnya lebih tajam dari pedang Katana, suatu malam menyelutuk:
“Petruk, kekuasaan sekarang itu sudah mirip seks. Sama-sama soal gaya, posisi, dan klimaks. Bedanya, seks butuh cinta, kekuasaan sekarang cukup modal nafsu!”
Aku yang lagi ngopi langsung tersedak. Tapi aku manggut-manggut. Ada benarnya juga. Di negeri ini, kekuasaan sudah tak lagi jadi jalan pengabdian, tapi sudah berubah jadi Kamasutra politik—semua berlomba-lomba mencari kenikmatan sesaat, meski dengan cara paling jahanam.
Dulu Kekuasaan Itu Cinta, Kini Jadi Nafsu
Zaman dulu, pemimpin itu dicintai rakyat karena mencintai rakyat. Kekuasaan dipakai untuk melindungi, merawat, dan menyejahterakan.
Sekarang?
Kekuasaan itu barang dagangan di lorong remang-remang demokrasi. Isinya tawar-menawar, jual diri politik, dan gaya bercinta kuasa yang makin menjijikkan.
Orang bisa jual prinsip, gadaikan moral, asal dapat satu malam di ranjang kekuasaan. Tak penting halal atau haram, yang penting “nikmatnya berkuasa”.
Klimaks Politik: Singkat, Tapi Bikin Rakyat Lemas
Naik kekuasaan itu seperti orgasme: cepat, sebentar, tapi efeknya panjang.
Masalahnya, yang orgasme politisi, yang lelah justru rakyat kecil.
Mereka yang pesta pora di gedung mewah, rakyat yang kenyang utang dan sabar.
Mereka yang bersenggama dengan anggaran, rakyat yang kebagian remah proyek.
Seperti seks tanpa pelindung, kekuasaan tanpa tanggung jawab hanya melahirkan anak-anak haram korupsi, stunting moral, dan aborsi akal sehat.
Predator Politik: Nafsu Tanpa Batas
Sekarang ini predator bukan cuma ada di film horor, tapi ada di ruang-ruang kekuasaan.
Mereka bukan pakai kuku atau taring, tapi pakai senyum manis, janji-janji manja, dan proposal proyek. Mereka memperkosa hukum dengan lobi, meniduri rakyat lewat kampanye, dan menyodomi keadilan pakai palu sidang.
Mereka tidak butuh cinta, mereka hanya butuh klimaks kekuasaan.
Kekuasaan Tanpa Cinta = Perkosaan Sistemik
Kalau seks butuh persetujuan, kekuasaan seharusnya juga butuh restu rakyat. Tapi hari ini, rakyat seringkali tidak diajak bicara.
Hanya dijadikan objek, disetubuhi sekali lima tahun, lalu ditinggal tanpa nafkah.
Kata Gareng, “Negara kita kayak ranjang king-size, isinya pejabat dan elite rebutan selimut kekuasaan, sementara rakyat kedinginan.”
Jangan Jadi Pelacur Politik
Kalau kamu punya niat jadi pemimpin, janganlah melacurkan diri pada sistem yang hanya menyenangkan syahwat elit.
Kalau kamu sudah duduk di kursi kekuasaan, jangan cuma mencari klimaks untuk dirimu sendiri.
Ingat: yang kamu tiduri itu bukan sistem, tapi harapan rakyat yang tiap malam masih tidur dengan perut kosong.
Karena sejatinya, pemimpin itu bukan pelaku seks politik, tapi pecinta amanah.
Petruk pamit dulu, mau nulis lanjutan kitab baru:
“Kamasutra Etika: dari Rakyat, oleh Rakyat, tapi… rasanya cuma buat Segelintir Orang.”
















