Wonogiri – Kalau hutan biasanya identik dengan bau tanah, pohon tinggi, dan nyamuk lapar, Hutan Jati Donoloyo punya satu menu tambahan: karisma mistis yang bikin bulu kuduk merinding tapi hati adem.
Akhir pekan kemarin, tim GarengPetruk.com dolan ke cagar alam satu ini, di Kecamatan Slogohimo, Wonogiri. Niat awalnya mau ngadem, eh malah pulang bawa cerita sejarah, mitologi, dan sedikit pesan moral dari alam.
Pembuka Menggelitik Pikiran:
“Jati-ne gede, sejarah-ne lebar, dan larangan-ne jelas. Wong cilik lewat, wong sombong minggir.”
Hutan yang Rindang, Kunden yang Bikin Penasaran
Begitu masuk hutan, suasananya langsung berubah: udara sejuk, cahaya remang-remang, dan ratusan pohon jati tua berdiri seperti prajurit Majapahit yang masih setia jaga pos.
Di tengah perjalanan, tim GP nemu satu benda nyentrik: kunden—tonggak kayu jati pertama yang dipercaya jadi cikal bakal hutan ini.
Ketemu pula dengan Pak Sunarto, sang juru kunci yang ramah tapi tegas soal aturan.
“Kunden iki tonggak jati pertama. Kayu-ne dibawa Wali Songo buat renovasi Masjid Agung Demak,” ujar beliau sambil senyum tipis.
Kata beliau, nilai sejarah di tempat ini bukan kaleng-kaleng—ini bukan sekadar hutan, tapi catatan kayu dari masa lampau.
Jejak Eyang Donosari: Dari Senopati Majapahit ke Penjaga Sunyi
Menurut Pak Sunarto, sejarah Donoloyo bermula dari seorang senopati Majapahit: Eyang Donosari.
Sadar hidup bukan cuma soal perang dan politik, beliau “mengundurkan diri” dari dunia, lalu menetap di kawasan ini.
Setelah menanam satu pohon jati…
…jadilah hutan ini.
Dan konon kualitas jatinya: kelas sultan.
Jati Donoloyo yang Mengalir hingga Masjid Agung Demak
Legenda makin seru ketika masuk ke kisah Wali Songo:
-
Raden Fatah butuh kayu jati terbaik buat masjid.
-
Wali Songo lihat sinyal “ayang-ayang” pohon jati Eyang Donosari sampai ke Demak.
-
Sunan Giri mengikuti jejaknya, sampai ketemu sang empu jati.
Eyang Donosari mengizinkan kayunya dibawa, tapi dengan tiga syarat sakral:
-
Dijauhkan dari peperangan
-
Dijauhkan dari pageblug
-
Dijauhkan dari kekurangan sandang-pangan untuk keturunannya
Kesepakatan terjadi, kayu ditebang, dihanyutkan lewat sungai.
Karena kemurahan hati itu, Wali Songo memberi gelar:
“Donoloyo” – Dono = memberi, Loyo = ojo suloyo (harus ikhlas).
Waduh, pesan moralnya kena banget:
“Memberi itu tulus, bukan nunggu tanda terima dan foto dokumentasi.”
Aturan Sakral: “Metu Saka Kene Aja Nganggo Oleh-Oleh!”
Ini bagian penting.
Masyarakat meyakini: ambil apa pun dari dalam hutan = musibah menanti.
Daun? Jangan.
Ranting? Jangan.
Kerikil? Ojo.
Tanah? Ojo piknik karo tanah e wong.
Pak Sunarto menegaskan:
“Kita bertamu, ya permisi. Jaga omongan, jaga sikap. Keluar jangan bawa apa pun. Apapun itu.”
Kalau tetap ngeyel?
Ya silakan tanggung risiko, Mas.
Hutan ini bukan minimarket.
Malam-Malam Suro: Saat Pengunjung Datang Cari Sunyi
Meski hanya 9,2 hektare, aura hutan ini sangat hidup.
Ratusan jati berusia lebih dari 500 tahun membuat atmosfernya seperti perpustakaan alam yang penuh rahasia.
Banyak pengunjung datang:
ada yang foto-foto, ada yang konten TikTok, tapi banyak pula yang datang untuk ritual dan doa.
Pak Sunarto lagi-lagi meluruskan:
“Sebenarnya, yang dilakukan di dalam hutan ini hanya berdoa kepada Yang Kuasa.”
Jadi jangan bayangkan adegan film horor, ya.
Ini tempat spiritual, bukan studio shooting.
CELETUK BAGONG:
“Hutan Donoloyo itu seperti hidup:
kamu boleh masuk, boleh belajar,
tapi jangan bawa-bawa yang bukan hakmu.
Nanti hidupmu berat kayak nggendong pohon jati.”
CATATAN SEMAR:
Kadang manusia lebih takut sama larangan hutan daripada larangan hati nurani. Padahal dua-duanya kalau dilanggar, akibatnya ya sama: hidup jadi nggak tenang.

















https://shorturl.fm/d2s6D
https://shorturl.fm/pFimu