BANYUWANGI, GARENGPETRUK.COM – Di bawah langit cerah Pantai Grand Watudodol yang tak hanya menyuguhkan sunset manja, tapi juga aroma kenangan bungkus kopi dan plastik bekas tahu bulat, Kementerian Pariwisata resmi meluncurkan Gerakan Wisata Bersih (GWB). Dan hei, bukan sembarang launching! Bumi Blambangan alias Banyuwangi dinobatkan jadi pilot project dari cuma 16 daerah se-Indonesia. Ciyus? Miapah!
Deputi Kemenpar, Pak Hariyanto, hadir dengan gaya khas pejabat: serius tapi senyum tipis. “Banyuwangi ini contoh nyata bahwa wisata itu bukan cuma soal selfie di spot Instagramable, tapi juga soal sampah yang tak kelihatan tapi numpuk di hati masyarakat,” ujarnya, sambil menatap jauh ke horizon, mungkin sambil menghitung jumlah kresek nyangkut di pohon kelapa.
Turut hadir: Bupati Banyuwangi Ibu Ipuk yang senantiasa tampil kece badai, para pejabat kementerian yang namanya panjang-panjang kayak SK pengangkatan, hingga Kapolresta dan Danlanal—menandakan bahwa bersih-bersih wisata ini serius, bukan sekadar CSR buat foto-foto.
Wisata Bersih: Antara Niatan Mulia dan Realita Di Lapangan
Kata Pak Hariyanto, GWB ini penting buat ningkatin Travel and Tourism Development Index (TTDI). Indikatornya? Health, hygiene, dan sustainability. Tapi… lho, bukannya itu juga indikator buat kamar kos yang sehat? Artinya, wisata bersih itu semestinya bukan agenda musiman, melainkan DNA pariwisata kita.
Namun, di lapangan, kita tahu tak semua berbau lavender. Kadang destinasi wisata malah kayak TPS tak resmi, penuh botol kosong dan sisa gorengan. Bahkan di spot “Instagramable”, kadang aroma got lebih ikonik dari tugu selamat datang.
Maka dari itu, GWB bukan Gerakan Wacana Bersih, ya, gaes. Tapi gerakan yang kudu nyata. Kalau cuma jadi seremoni, nanti jadi GWS – Gerakan Wani Selfie, doang.
Banyuwangi: Kolaborasi atau Kolam Rame-Rame?
Banyuwangi dipilih karena sukses bangun kolaborasi. Tapi, kata “kolaborasi” ini harus dipahami secara utuh, bukan sekadar kumpul rame-rame makan nasi kotak trus bubar. Artinya: mulai dari pemerintah, pelaku wisata, sampe pedagang cilok di pinggir pantai, semua kudu punya rasa memiliki. Wisata bukan cuma buat investor, tapi juga buat anak cucu kita yang pengin lihat laut bukan dari AR filter.
Bupati Ipuk sendiri sudah siap tancap gas. Beliau bilang, gerakan ini sejalan dengan komitmen daerah. Nah, ini yang Petruk suka. Komitmen itu kayak janji nikah: kalau gak dijaga, bisa bubar di tengah jalan.
Sampah Tak Pernah Salah, Yang Salah Itu…
Ratusan pelajar dan warga bersih-bersih pantai bareng. Adegan ini indah, bikin hati bangga. Tapi Petruk ngingetin: bersih-bersih massal itu cakep, tapi jangan jadi kebiasaan musiman. Kita gak bisa terus berharap anak-anak sekolah yang po’o-po’o di bawah matahari demi bersihin sampah orang dewasa yang pikniknya bawa nasi padang, pulangnya tinggalin plastiknya.
Wisata bersih butuh literasi lingkungan, bukan cuma kerja bakti setahun sekali buat konten TikTok. Kebersihan itu bukan proyek, tapi peradaban.
Jangan Sampai Wisata Jadi Wisatawan Sampah
Gerakan Wisata Bersih bisa jadi langkah awal. Tapi langkah ini harus diikuti langkah-langkah lain: regulasi yang tegas, edukasi yang cerdas, dan tentu saja, kemauan yang ikhlas. Kalau Banyuwangi sukses, daerah lain bisa nyontek, bukan ngiri. Kalau gagal, yaa… minimal kita sudah punya backdrop acara launching yang keren.
Petruk percaya, tanah Blambangan bukan cuma surga wisata, tapi juga sekolah kehidupan. Di pantainya, laut bicara. Di hutannya, angin bersenandung. Maka, mari kita rawat bukan hanya demi turis, tapi demi tanah ini sendiri.
Salam dari pantai,
Gareng dan Petruk
Sambil pungut bungkus ciki, biar nggak dikira nyampah sambil nyindir.