(Adegan: Petruk duduk di mushola kampung usai shalat maghrib, sendirian. Ia menatap sajadah, sambil memainkan ujung sarung. Udara tenang, suara jangkrik terdengar dari kejauhan.)
Petruk:
Shalat itu lima waktu,
Tapi aku baru sadar…
Rasanya bisa beda-beda.
Kadang seperti permen… manis di awal, hambar di akhir.
Kadang seperti kopi… pahit, tapi bikin melek.
Kadang kayak mie instan… cepat, tapi penuh micin.
(Tersenyum sambil ngelus dada.)
Ada juga shalat yang cuma formalitas,
kayak tamu undangan—datang, duduk, pulang.
Tapi ada juga yang kayak surat cinta,
yang tak terbaca oleh mata,
tapi bikin hati nyesek sekaligus lega.
(Ia menunduk khusyuk, lalu mendongak pelan ke langit-langit mushola.)
Aku pernah shalat sambil mikirin utang,
pernah juga sambil nahan kentut.
Pernah shalat karena malu dilihatin orang,
tapi juga pernah shalat sambil nangis
karena sadar Gusti ku terlalu sabar.
(Petruk memejamkan mata.)
Kata Rumi:
“Setiap gerakan ibadah adalah tarian,
dan Tuhan adalah Penonton yang paling lembut hatinya.”
Jadi meski shalatku belum sempurna,
semoga niatku tetap bergetar di hadapan-Mu.
(Ia membuka mata, tersenyum santai.)
Shalat itu bukan sekadar rukuk dan sujud,
tapi juga latihan untuk berhenti jadi sombong.
Karena kalau kita bisa tunduk di hadapan Tuhan,
kenapa masih tinggi hati pada sesama?
—
Pesan Moral ala Petruk:
“Shalat bukan hanya soal gerakan,
tapi soal rasa.
Kalau hati kita kosong,
maka rukuk pun cuma jadi senam rutin belaka.”