Warung Kopi Sudut Timur Kota, 14 Juni 2025 –
Di bawah atap seng yang sudah bolong-bolong, di antara gelas kaca yang sumbing dan meja kayu yang bunyinya mirip tulang rematik tiap digeser, lahir sebuah surat cinta. Tapi bukan cinta yang bikin deg-degan, ini cinta yang bikin mikir. Bukan dari kekasih yang lupa ulang tahun, tapi dari rakyat kecil yang tak pernah diingat sama sekali.
Surat ini ditulis bukan pakai pena emas, tapi dengan sisa tinta pulpen hadiah seminar 2014. Ditulis bukan di meja menteri, tapi di warung kopi pinggir jalan, tempat di mana yang ngutang lebih banyak dari yang bayar.
Gareng pun nyeletuk, “Iki surat cinta paling jujur. Soale ditulis tanpa harapan dibales, apalagi dikasih THR.”
—
Kalimatnya Tajam, Tapi Hangat Seperti Kopi Tubruk
“Kepada para pemilik langit kekuasaan,” begitu mereka mulai suratnya.
Surat itu tidak mengumpat. Tidak marah. Tapi mengiris dengan cara yang elegan. Kalimat-kalimatnya seperti kopi hitam: pahit, tapi bikin sadar.
> “Kami ini rakyat, bukan statistik. Kami ini manusia, bukan angka grafik. Jangan ajari kami cinta tanah air, kalau makan aja kami harus ngutang di warung sendiri.”
Lalu mereka mengutip Plato. Ya, Plato!
Sambil ngopi di warung yang atapnya bocor, mereka masih inget Plato. Sementara beberapa petinggi negara, Plato pun dikira merek sandal.
—
Warung Kopi: Agora Zaman Now
Di tempat ini, diskusi lebih hidup dari debat TV. Gak ada buzzer, gak ada moderator, tapi ada kebenaran yang ngumpet di antara gelas kopi dan tahu isi.
Dari tukang becak sampai mahasiswa semester sembilan yang masih KKN di hati mantan, semua bersuara. Mereka tidak minta revolusi, hanya ingin dilihat sebagai manusia.
“Kekuasaan tanpa pendengaran, itu kayak WiFi tanpa kuota. Nyambung, tapi gak bisa akses.” kata Mas Petruk sambil nyeruput kopi dengan gaya filsuf habis ditinggal cicilan.
—
Sindiran yang Disajikan Hangat
Surat itu menyebut:
> “Kami bukan anti pemerintah, tapi kami pro rakyat. Kami bukan tidak sabar, kami cuma lelah dibohongi sambil disuruh sabar.”
Ada juga pertanyaan-pertanyaan eksistensial:
Apa arti negara jika rakyatnya hanya penting saat pemilu?
Apakah penguasa masih manusia, atau sudah berubah jadi simbol tanpa jiwa?
Dan mengapa nasi kian mahal tapi janji tetap murah?
—
Kalau Istana Langit Tak Membumi, Maka Rakyat Akan Membumbung Dalam Doa yang Serius
Surat ini bukan ultimatum. Bukan ancaman. Tapi peringatan penuh cinta. Karena cinta yang terlalu lama diabaikan bisa berubah jadi kecewa. Dan dari kecewa lah lahir lagu-lagu patah hati… dan juga revolusi.
Nietzsche pernah bilang, “Sunyi adalah awal dari kematian makna.” Dan sunyi itulah yang kini menyelimuti jalanan, pasar, dan warung kopi.
Kalau kalian di istana langit masih mengira semuanya baik-baik saja, coba turun sebentar. Dengarkan suara dari bawah. Suara cangkir retak, suara utang yang tak bisa dibayar, suara rakyat yang masih percaya, meski tiap hari dikhianati.
—
Penutup dari Warung Kopi
Warung ini tak punya staf ahli. Tak ada humas. Tapi ia punya hati. Dan dari hatilah surat ini dikirim.
> “Kami cinta negeri ini, tapi kami tak ingin cinta ini dimanfaatkan untuk terus membayar kebodohan yang kalian legalkan.”
Gareng dan Petruk berpesan:
“Kalau negara ini ingin selamat, dengarkan warung kopi. Karena di sana, suara rakyat disajikan hangat, tanpa sensor, tanpa framing, cuma perlu disruput dengan nurani.”
—
Salam dari sudut warung kopi,
tempat terakhir kejujuran masih punya tempat duduk.
🖊️ Randa Kholilur Rohim
☕ Editing: Azis Chemoth – ngopi sambil mikir pajak gorengan
📍 Biro Situbondo, GarengPetrok.com















