(Adegan: Sebuah warung kecil di pinggir desa. Petruk duduk sendirian, membuka bungkus nasi dan sebotol kecap bertuliskan: “Rasa Asli Sejati.” Ia menatap botol kecap itu seolah sedang membaca kitab suci.)
Petruk:
(berbicara ke penonton)
Ini kecap. KECAP!
Bukan sembarang kecap…
Tulisannya “Rasa Asli Sejati.”
Wah, dari namanya saja udah kayak merek surgawi.
(Sambil mengangkat botol ke arah cahaya)
Manis di luar…
Gelap di dalam…
Kental, susah ditebak…
Persis kayak manusia zaman sekarang.
Banyak yang manis di kata,
Tapi gelap hatinya.
Lembut di media sosial,
Tapi penuh caci di grup keluarga.
(Petruk menuangkan kecap ke nasi, lalu berhenti, merenung dalam.)
Sekarang semua orang ngaku asli.
Asli santri.
Asli pejuang.
Asli keturunan wali.
Asli bangsa terpilih.
Asli dari ormas yang katanya paling murni.
(Tertawa pelan, getir.)
Tapi kalau semua ngaku paling asli,
Yang palsu itu siapa?
Apa jangan-jangan…
Yang paling asli justru yang berani ngaku palsu?
(Dengan gaya seperti guru spiritual dadakan, tangan ke dada, meniru gerakan darwis Rumi.)
Keaslian bukan di label.
Bukan di gelar.
Tapi di kejujuran yang sederhana.
Kata Rumi, cinta yang sejati tak butuh pengakuan.
Ia hanya hadir…
dan memberi rasa.
(Petruk duduk bersila, tersenyum lebar.)
Aku lanjut makan, ya.
Nasi warteg dengan kecap.
Tidak suci, tapi cukup.
Tidak mewah, tapi penuh berkah.
Makan sambil ingat Tuhan,
Itu juga bentuk ibadah.
(Menatap langit dengan santai.)
Tuhan, semoga aku bisa seperti kecap yang jujur.
Tak perlu ngaku suci.
Cukup memberi rasa.
Dan membuat hidup orang lain lebih nikmat.
—
Pesan Moral ala Petruk:
“Keaslian bukan soal pengakuan, tapi keberanian untuk jujur.
Yang penuh label, kadang kosong isi.”
















