Batu, 30 Mei 2025 –
Di era sekarang, semua serba “AI this, AI that”. Bangun pagi dibangunin AI, makan siang diantar robot, ngobrol sama pacar juga pake chatbot. Lha terus, manusia di mana? Mungkin sedang antri bantuan sosial karena pekerjaannya diganti machine learning.
Kecerdasan Buatan (AI) memang luar biasa. Dia bisa mengenali wajah, bikin resep masakan, sampai menciptakan lagu cinta padahal hatinya cuma dari kode. Tapi coba tanya satu hal sederhana ke AI:
> “Mas, bisa ngisi beras di rice cooker yang kosong sejak tanggal muda?”
Dijawabnya, “Maaf, saya adalah model bahasa besar yang tidak memiliki akses ke dapur Anda.”
Nah lho.
—
Teriakan Emak-Emak vs Bisikan Algoritma
Ada satu suara yang lebih keras dari bising notifikasi: suara emak-emak dari dapur yang teriak,
> “Boleh teknologi canggih, Nak, tapi jangan sampe lupa isi panci!”
Dan ini bukan sekadar suara lapar, tapi panggilan nurani. AI boleh pintar, tapi kalau masih ada tetangga yang ngopi pakai nasi basi, ya kita perlu pause. Sebab, algoritma tidak bisa menghapus rasa lapar. Apalagi kalau sistemnya error pas waktunya makan sahur.
—
Teknologi yang Lupa Rasa
AI bisa bantu kita nentuin pola makan, tapi dia gak pernah tahu rasanya makan tempe goreng sambil denger suara hujan. AI bisa bantu distribusi pangan, tapi dia gak akan pernah tahu sedihnya ibu-ibu pas harga cabai naik kayak saham gorengan.
Teknologi, tanpa sentuhan kemanusiaan, bisa jadi seperti mantan yang sukses: dingin, pintar, tapi gak peka.
—
Mau Hebat? Jangan Lupa Empati
Para developer sibuk ngejar efficiency, sampai-sampai lupa ada satu feature penting yang sering absen di perangkat lunak: empati. Padahal, teknologi yang benar-benar canggih adalah teknologi yang tahu kapan harus berhenti menghitung dan mulai mendengar.
Misalnya, saat ada sistem AI buat distribusi logistik pangan, jangan cuma mikir gimana biar barang cepet sampe. Tapi pikir juga:
Apakah si penerima punya kompor buat masak?
Apakah mereka bisa baca petunjuk bantuan yang pakai bahasa Inggris semua?
Apakah mereka masih bisa senyum walau aplikasi gagal terus?
—
Desainnya Jangan Cuma dari Silicon Valley, Tapi Juga dari Warteg Pinggir Jalan
Kalau kita pengen teknologi yang manusiawi, ya libatkan manusia. Bukan cuma programmer di kantor ber-AC, tapi juga ibu kantin, tukang sayur, dan bapak ojol. Karena mereka tahu apa itu kebutuhan nyata, bukan cuma apa yang trending di forum teknologi.
Desain berbasis manusia (human-centered design) bukan sekadar jargon buat proposal, tapi cara supaya AI gak cuma bikin hidup cepat, tapi juga lebih hangat.
—
Digitalisasi Jangan Sampai Jadi “Digitalisasi” (Di Gital Tapi Tak Ada Rasa)
Kita butuh teknologi, betul. Tapi kita juga butuh nasi, empati, dan kedekatan. Jangan sampai dunia jadi tempat di mana robot bisa bikin puisi cinta, tapi manusia gak bisa lagi bilang “selamat makan” dengan tulus.
Maka, pesan redaksi Gareng Petruk kali ini sederhana:
> “Kalau AI bisa masak, itu hebat. Tapi kalau AI bisa ngerti rasa sayur asem buatan ibu, itu baru revolusi.”
—
Hidup Teknologi! Tapi Jangan Sampai Kita Kehilangan Kemanusiaan!
Karena di ujung hari, perut kenyang lebih penting dari baterai penuh. Dan kadang, satu mangkuk sup hangat lebih menyelamatkan jiwa dibanding seribu baris kode Python.
— Gareng Petruk: Di Antara Keyboard dan Kendil, Kami Memihak Kemanusiaan
















