BANYUWANGI — Di kota yang katanya punya sunrise tercantik se-Indonesia, ternyata ada juga sunset-nya integritas. Gara-gara proyek plengsengan di Perumahan Griya Permata Husada (GPH), Kelurahan Pengantigan, Banyuwangi, kita semua jadi tahu: yang roboh bukan cuma bangunan, tapi juga akal sehat dan kejujuran aparat!
Bayangin, pemirsa! Plengsengan—yang mestinya jadi tameng buat warga dari amukan air—ternyata pondasinya dibuat dari… tanah liat! Iya, betul, TANAH. LIAT. Bukan beton, bukan batu kali, bukan juga pasir campur semen, tapi tanah liat kayak buat mainan anak PAUD. Lha kok ora gemeter sak jagad?
Banyuwangi Bumi Sunrise? Kok Kayak Proyek di Planet Mars!
“Ini bukan salah teknis, ini salah asuh!” ujar Mas Herman Sjahthi, seorang akademisi yang kalau ngomong bisa bikin tiang listrik mikir ulang buat berdiri. Menurut beliau, ini bukan cuma keteledoran. Ini sudah masuk kategori pengkhianatan nasional, setingkat drama politik minus setting istana.
Warga setempat yang tadinya berharap punya plengsengan kokoh, malah dikasih bonus pekerjaan bakti. Plengsengan ambrol, air nyeruduk ke mana-mana, akhirnya warga kudu patungan gotong royong ndandani. Lah, rakyat disuruh bayar pajak, disuruh sabar, disuruh kerja bakti pula? Ini gotong royong atau gotong rempong?
CV Siluman dan Dinas Cuci Tangan
Mas Herman dengan penuh cinta tanah air menyentil bahwa pemberian proyek ke CV asal comot itu ibarat nyuruh kambing jagain ladang. “Dinasnya juga hebat, jadi stempel, bukan pengawas!” katanya. Kalau pengawasan model begini terus jalan, jangan heran kalau proyek-proyek berikutnya pakai bahan kertas semen atau daun pisang.
Kenapa bisa lolos? Ya karena sistem lelangnya didesain kayak sinetron. Ada konflik, ada aktor licik, tapi ending-nya selalu dimaafkan. Semua bisa diatur, asal ada ‘surat cinta’ dari pihak-pihak tertentu. Akibatnya, proyek-proyek jadi ajang uji kreativitas akal-akalan.
Transparansi? Masih Lebih Jelas Kabut Gunung Ijen
Gareng Petruk dan kru menyarankan: mari kita digitalisasi pengawasan proyek! Biar warga bisa tahu, berapa duit anggaran, siapa kontraktornya, dan kapan harus selesai. Sekarang ini, tahu-tahu sudah ada proyek, tahu-tahu sudah roboh. Rasanya kayak pacaran sama orang yang ghosting: nggak jelas dari awal, tapi nyakitin di akhir.
Tanah Liat: Simbol Birokrasi Zaman Now
Plengsengan ini, menurut Mas Herman, hanyalah contoh kecil dari struktur besar yang sedang keropos. Pondasinya rapuh, mentalitasnya lembek, semangatnya longsor. Lha piye, kalau pejabatnya cuma jago pidato tapi nggak bisa nyemen masa depan rakyat?
GarengPetruk.com menyimpulkan:
Ini bukan sekadar plengsengan ambrol, ini simbol integritas yang nyungsep. Birokrasi hari ini bukan kurang SDM, tapi kebanyakan Sembarang Dikerjakan dan Sembarang Modal. Rakyat butuh kepastian, bukan janji proyek dengan pondasi rasa dodol garut.
Catatan Akhir Gareng Petruk:
Kalau pemerintah masih bisa ketawa melihat rakyatnya memperbaiki proyek gagal pake uang pribadi, berarti sudah waktunya rakyat belajar tertawa sambil memilih ulang siapa yang pantas jadi pelayan publik. Ingat, pemimpin yang baik bukan yang banyak baliho, tapi yang proyeknya tahan air dan tahan kritik.
Sampai ketemu di berita roboh berikutnya!
Wassalam warahmatullahi wabarakatuh dan semoga tidak ada yang plengsengannya tanah liat lagi.
(Didik H. – Reporter yang siap menyemen nalar publik)