Jember – GarengPetruk.com
Di tengah dinginnya malam Minggu dan ramainya obrolan soal harga sembako yang naik turun kayak sinyal Wi-Fi di warung kopi, tim Gareng Petruk Jatim beruntung bisa ngopi bareng seorang maestro—Pak Yatim, pelukis nyentrik asal Jember yang lebih tajam kuasnya daripada kritik DPR lewat poster mahasiswa.
Namanya Drs. Saiful Yatim, bukan selebgram atau mantan pejabat viral, tapi beliau adalah pahlawan seni yang diam-diam terus berkarya. Lukisan-lukisannya bukan sekadar gambar indah buat background Instagram, tapi sindiran kontemporer yang bisa bikin penonton mikir keras sambil megang dagu, “Ini maksudnya gua banget sih.”
Dengan goresan sehalus bisikan mantan dan setajam kenyataan hidup, Pak Yatim melahirkan karya-karya yang sarat akan nilai sosial, budaya, hingga isu politik yang… yah, lebih tajam dari debat netizen +62.
Figuratif? Iya. Penuh sindiran? Jelas. Relatable? Banget.
Salah satu karyanya yang akan segera dipamerkan di Jakarta bertajuk “Begitu Mahalnya Pendidikan Tari di Indonesia”—lukisan ini bukan hanya memvisualkan gerakan tari, tapi juga gerakan dompet yang makin tipis demi ikut les.
Salah satu hal gokil dan membanggakan: Pak Yatim udah menghasilkan lebih dari 80 lukisan, dijual dari harga Rp15 juta sampai Rp100 juta. Tapi sayang, apresiasi negara terhadap para pelukis masih seringkali setipis amplop surat undangan rapat RT.
Karya-karyanya udah tour keliling dunia—dari Taman Ismail Marzuki, Ancol, Bandung, Surabaya, sampai ke luar negeri seperti Kuala Lumpur, Texas, dan California. Tapi di negeri sendiri? Duh, perhatian buat seniman kayak Pak Yatim kalah saing sama perhatian buat harga telur naik Rp200.
Komunitas K5 Art Project, tempat Pak Yatim berkarya bareng para seniman-guru, bahkan siap meluncurkan pameran di Jakarta bulan Juli nanti. Di sana mereka bakal bawa “amunisi lukisan” hasil jerih payah dari ujung timur pulau Jawa. Tapi sayang, belum banyak panggung, apalagi subsidi, yang memanusiakan seniman seperti Pak Yatim.

Gareng: “Truk, seniman kayak Pak Yatim ini harusnya dikasih penghargaan negara, bukan cuma ditonton diem-diem kayak mantan stalking!”
Petruk: “Iya, Gareng! Jangan sampe nanti kalau beliau udah wafat baru karya-karyanya dihargai mahal. Biasa, kita ini lebih jago menghormati yang sudah almarhum.”

Catatan GarengPetruk:
Di negeri yang lebih sibuk ngurusin siapa yang koalisi sama siapa, Pak Yatim terus ngurusin siapa yang masih peduli pada budaya. Beliau bukan cuma pelukis, tapi penyair visual yang berbicara lewat warna dan bentuk.
Pak Menteri, Pak Kepala Dinas, siapapun yang merasa punya jabatan, dengar dong suara kuas dari Jember ini.
Negara nggak akan miskin kalau perhatian ditambah buat seniman. Tapi negara akan kering makna kalau suara seni tak lagi didengar.

Mari kita rawat seniman seperti Pak Yatim, bukan karena mereka butuh belas kasihan, tapi karena kita butuh seni untuk tetap waras di tengah dunia yang makin absurd.
Harian Nasional Gareng Petruk: Goresan kata, suara rakyat, untuk negeri yang lebih peka.
















