Petruk pernah bilang waktu ngobrol sama Gareng di warung kopi, “Oalah Rek, tambang nikel saiki kok iso-isonya mlebu Raja Ampat. Nggak sayang opo, surga kok dijadikan ladang nguntal bumi?”
Raja Ampat itu bukan sekadar gugusan pulau yang cantik buat kalender pariwisata, lho. Itu rumahnya terumbu karang, tempat ikan-ikan sekolah, tempat nelayan cari nafkah, dan tempat kita semua bisa belajar: bahwa alam itu titipan, bukan tanah kapling buat dijual eceran.
Tapi entah kenapa, tiba-tiba yang datang bukan turis, tapi investor tambang. Datangnya diam-diam, eh tiba-tiba sudah bikin warga resah. Ada yang bilang, “Ini buat kesejahteraan rakyat.” Tapi rakyatnya malah bingung, “Lha kok kayaknya kami cuma disuruh nonton, bukan diajak rembukan?”
Logika Ndak Masuk Akal
Coba kita pikir pakai logika waras. Nikel itu memang penting, iya. Buat baterai, buat mobil listrik, buat dunia yang lebih “hijau”, katanya. Tapi masak iya, demi dunia hijau kita rusak hutan yang benar-benar hijau? Ini logikanya kayak orang nyuci baju, tapi pakai air got. Bersihnya dapat, baunya ikut.
Ada yang bilang tambang bawa lapangan kerja. Tapi pertanyaannya: kerja buat siapa? Masyarakat lokal? Atau tenaga impor yang sudah siap duluan dari kota? Jangan-jangan warga hanya kebagian debu dan lumpur, sementara cuan lari ke Jakarta.
Satu Langkah Maju, Dua Langkah Mundur
Pemerintah bilang pembangunan harus terus jalan. Benar. Tapi kalau caranya seperti ini, namanya bukan maju, tapi mingsret. Satu langkah ke depan buat industri, dua langkah ke belakang buat lingkungan dan masyarakat.
Apakah kita rela lihat Raja Ampat tinggal dalam cerita? Nanti anak-cucu kita tanya, “Dulu benar ada laut sejernih kaca, Pa?” Terus kita jawab, “Ada, Nak. Tapi sudah kita ganti sama lubang tambang dan dermaga smelter.”
Suara Warga: Jangan Cuma Jadi Bumbu Presentasi
Warga lokal jangan cuma dijadikan pemanis dalam proposal investasi. Suara mereka bukan sekadar formalitas dalam AMDAL. Itu nyawa mereka. Kalau laut rusak, mereka yang duluan kena dampaknya. Ikan kabur, air tercemar, dan pariwisata? Wassalam.
Keadilan ekologis harus jadi prinsip utama. Jangan sampai tambang hanya jadi jalan pintas memperkaya segelintir orang, sementara yang lain cuma disuruh nerima nasib.
Petruk Mikir: Alam Bukan ATM
Petruk itu jenaka, tapi hatinya halus. Dia bilang, “Jangan jadikan bumi seperti ATM. Digesek terus sampai limit, tapi lupa isi ulangnya.” Sama seperti Raja Ampat. Kalau kita ambil terus dari alam tanpa ngopeni, nanti yang tersisa cuma nama dan foto jadul.
—
Penutup:
Kalau benar kita ingin masa depan yang hijau dan berkelanjutan, mari mulai dari niat yang benar. Jangan bungkus kerusakan dengan kata-kata manis “pembangunan.” Jangan eksploitasi alam demi ambisi sesaat.
Karena ketika alam sudah marah, tidak ada teknologi yang bisa menyelamatkan kita. Nikel bisa habis, tapi laut yang rusak tak bisa dibeli ulang.
—
> “Raja Ampat butuh perlindungan, bukan perizinan. Butuh keberanian, bukan pembiaran.”
– (Gareng, saat nulis status WhatsApp sambil ngopi)