Di tulis dengan Gaya Harian Nasional Gareng Petruk – edisi rakyat kecil yang melek hukum, tapi tetap senyum meski perut kosong.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah kontrakan, kali ini kita ngobrolin perkara yang gak kalah panas dari gorengan cilok di kantin DPR—soal Reformasi Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial (KY). Eh, jangan dulu mengernyit! Ini bukan soal pasal-pasal yang bikin pusing kepala. Kita bahas dengan bahasa rakyat, yang penting ngerti dan nyentil, kayak sindiran mantan waktu kita ngutang.
Hakim: Yang Dipuja, Tapi Bisa Juga Jadi Durjana
Kita semua tahu, hakim itu ibarat malaikat bersayap toga. Tugasnya mulia—menegakkan hukum, memberi keadilan. Tapi, kalau sudah masuk angin politik dan aroma rupiah, sayapnya bisa rontok, tinggal toganya aja yang berkibar. Maka dari itu, negara kita yang katanya cinta hukum, bikinlah lembaga bernama Komisi Yudisial. Tugasnya? Mengawasi hakim supaya gak ngelantur kayak sinetron stripping.
Tapi ya itu, KY ini nasibnya mirip petugas satpam kompleks yang dikasih tugas jagain gerbang, tapi gak dikasih kunci. Mau gebukin maling, malah dimarahin RT.
Komisi Yudisial: Mandatnya Langit, Kekuatannya Cuma Surat
Lihat saja, tugas KY ini segudang. Mulai dari ngusulin hakim agung, ngawasin kode etik, sampe nyadap kalau perlu. Tapi, giliran udah ketemu hakim yang nyebrang jalur etika, KY cuma bisa lapor, kasih rekomendasi, lalu nunggu Mahkamah Agung (MA) bilang “Oke” atau “Abaikan”. Ya kayak penonton bola yang cuma bisa teriak “Offside!” tapi wasitnya cuek, terus ngopi.
Menurut makalah dari Bapak DR. Suparno Pengacara Senior di Firma Hukum Maps Lawyer Indonesia di Gedung Cyber 2 Jakarta, KY ini bukan gak kerja. Banyak laporan masuk, investigasi jalan, bahkan ada yang disanksi. Tapi dari ribuan laporan, yang sampai kena batunya cuma seupil. Yang dihukum? Ya yang sial aja. Yang licin? Selamat, karena sistemnya aja masih bolong-bolong kayak jalan desa waktu musim hujan.
Reformasi: Harapan Rakyat, Tapi Terkunci di Meja DPR
Solusinya? Ada! Tapi ya itu, mentok di political will. DPR dan pemerintah kudu serius revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Jangan cuma sibuk bahas RUU Sapu Lidi atau RUU Cinta Satu Malam.
KY perlu kekuatan eksekusi—bukan cuma rekomendasi. Kayak guru BP, jangan cuma bisa nyatet nama siswa nakal, tapi bisa juga ngasih surat panggilan orang tua.
Selain itu, KY juga butuh pasukan lebih. Sekarang, pengawasan dilakukan oleh biro kecil, kayak warung kelontong yang disuruh ngawasin pasar modern. SDM terbatas, dana mepet, sementara kelakuan hakim yang nakal makin variatif—ada yang main proyek, main perkara, bahkan main TikTok sambil sidang.
Konflik MA dan KY: Drama Berepisode, Tapi Gak Pernah Tamat
Masalahnya, MA dan KY ini kadang kayak dua kakak-adik yang rebutan warisan. Bukannya kerja bareng, malah saling tusuk pantun. Bahkan 31 hakim agung sempat ngajukan judicial review ke MK, supaya KY gak bisa ngawasin mereka. Dan, sayangnya, MK nurut. Lah, pengawas malah dikebiri. Kalau begitu, buat apa KY dibikin, kalau pengawasannya bisa dibatalkan hakim yang diawasinya?
Rakyat Butuh Hakim yang Bersih, Bukan Bersih di Luar Saja
Kita, rakyat kecil ini, cuma minta satu: keadilan. Bukan keadilan yang bisa dinego, bukan keadilan yang tergantung wajah pengacara atau tebalnya amplop. Tapi keadilan yang sejati—yang bisa bikin orang percaya sama pengadilan lagi.
Kalau KY terus dilemahkan, dan MA terus bersikap “jangan ganggu dapur kami”, ya jangan salah kalau rakyat makin males percaya hukum. Nanti jangan salah juga kalau muncul meme: “Di Indonesia, pengadilan adalah tempat paling adil—karena semua bisa diatur dengan adil sesuai tarifnya.”
Penutup ala Gareng:
Jadi, wahai para pemangku jabatan dan pencinta drama institusi, reformasi KY itu bukan soal ego antar lembaga. Ini soal masa depan hukum kita. Jangan tunggu sampai rakyat nyerah, lalu bikin hukum sendiri pakai hukum rimba.
Kalau KY mau jadi harapan, kasih dia senjata. Kalau enggak, ya sudah, biar rakyat saja yang ngawasin, lewat media sosial, meme, dan sinisme harian. Tapi ingat, kalau pengawasan rakyat sudah lebih tajam dari institusi resmi, itu tandanya negara sedang demam. Dan kalau dibiarkan, bisa-bisa kena infeksi… korupsi stadium akhir.
Salam hangat dari warung kopi bawah pohon beringin.
Ttd: Rakyat yang masih ngutang listrik tapi gak pernah telat urus KTP.