Pembuka Menggelitik
“Dari tanah liat yang pasrah, lahirlah karya yang sombong. Dari malam yang sunyi, lahirlah imajinasi yang ribut.”
Pagi di Kota Batu yang Tidak Biasa
KOTA BATU — Minggu, 23 November 2025, matahari naik pelan di Kota Batu, tapi cahaya paling mencolok justru datang dari Studio Matahati Ceramic di Perum Wastu Asri, Junrejo.
Di ruang kerja yang masih berembun aroma tanah basah, empat mahasiswa Seni Rupa Murni Unesa memamerkan karya keramik yang tidak hanya bagus, tetapi “nyawanya keluar”—meminjam istilah Semar.
Mereka adalah:
-
Adib Muktafi
-
Ilham Maulana Putra
-
Alya Rahmani
-
Rizky Octa Putra Levy (Levi)
Sarasehan dipandu Raisa Matahati, sementara Muchlis Arif—pendiri Matahati Ceramic—berdiri sebagai mentor yang sudah lama menjalin MoU dengan Prodi Seni Rupa Murni Unesa.
Muchlis bukan sekadar pembimbing, tetapi penggembleng yang mengubah tangan-tangan muda ini menjadi pembawa cerita melalui keramik.
Muchlis Arif: Pandai Besi Imajinasi
Menurut Muchlis, perjalanan empat mahasiswa ini bukan sekadar magang atau eksplorasi studio. Ini proses panjang yang berisi darah, keringat, disiplin, dan rasa cinta pada seni keramik.
“Dari gagasan awal sampai publikasi, mereka menjalani semuanya di sini. Bukan cuma belajar, tapi digembleng,” ujar Muchlis bangga, seperti bapak yang tersenyum melihat anaknya wisuda.
Studio itu berubah menjadi arena tempaan.
Malam-malam hening mereka isi dengan mengejar mimpi.
Tanah liat mereka bentuk jadi kisah.
Ilham Maulana Putra – “Kilo Karat”: Mesin, Harapan, dan Korosi
Ilham membawa karya dengan judul Kilo Karat—menyatukan dunia otomotif dan keramik dalam satu dialog visual.
“Mesin itu seperti teman hidup. Berguna, tapi kalau salah pakai, bisa bikin rusak,” kata Ilham.
Keramik berbalut karat dalam karyanya bukan sembarang estetika. Itu simbol harapan manusia yang kadang retak oleh teknologi yang tak dikendalikan.
Muchlis memberi komentar tajam namun hangat:
“Karatnya itu justru nyawa. Kelemahan yang membuatnya indah.”
Bagong yang kebetulan mendengar cuma nyeletuk, “Karatmu ngingetin dompetku, Il. Makin tua makin tipis.”
Levi – “Warna-Warni Gelisah”: Trauma Kecil, Gurita, dan Penyembuhan
Rizky Octa Putra Levy atau Levi membawa suasana berbeda. Ia mengangkat pengalaman psikologis masa kecil—takut jalan rusak di Margomulyo—yang kemudian disembuhkan lewat terapi warna.
Terinspirasi gurita dumbo berwarna ungu transparan, ia menciptakan karya keramik yang lembut namun penuh gema batin.
“Waktu kecil saya takut sekali. Lewat terapi, saya diajak melihat warna sebagai penyembuhan,” kenangnya.
Gurita itu menjadi simbol kedamaian dalam kegelisahan, dan karya Levi menjadi ruang penerimaan bagi dirinya sendiri.
Semar mengangguk sambil menepuk bahu:
“Kadang yang paling kuat bukan tanganmu, tapi keberanianmu bilang: aku dulu takut.”
Adib Muktafi – “Membara Membiru”: Demonstrasi dan Luka Kolektif
Adib hadir dengan karya Membara Membiru, yang memotret energi demonstrasi di Indonesia: panas, penuh semangat, tetapi sering meninggalkan biru luka.
“Dua matahari itu simbol rakyat yang membara, tapi akhirnya harus menelan pahit pengkhianatan,” ujarnya.
Merah dalam karyanya menjadi metafora perlawanan.
Biru menjadi bekas luka yang tak hilang.
Keramiknya adalah kritik sosial yang diam namun pedih.
Alya Rahmani – “Dari Dalam Aku Tunggu”: Telur, Rumah, dan Kelahiran Diri
Alya membawa karya paling kontemplatif: sebuah telur besar yang melambangkan rumah, tempat tumbuhnya harapan.
“Aku pernah stuck. Masa gelap tanpa ide. Tapi ada sosok idola yang menarikku keluar,” ujarnya tanpa menyebutkan siapa.
Telur itu menjadi simbol ruang batin—perlindungan dan persiapan sebelum menghadapi dunia yang keras.
Karyanya lembut namun penuh makna.
Muchlis Arif Menutup dengan Optimisme
Muchlis menutup pameran dengan penuh keyakinan.
“Mereka bukan lagi mahasiswa. Mereka sudah seperti seniman. Gagasannya matang, tekniknya kuat. Tinggal waktu yang akan membawa mereka ke panggung nasional maupun internasional.”
Ia menegaskan bahwa seni butuh keikhlasan, kecerdasan, dan karakter kuat.
“Pameran ini bukan produk akhir. Ini pintu masuk menuju kompetisi yang lebih besar.”
Gareng mengangguk sambil menyesap kopi:
“Seni yang lahir dari proses panjang biasanya umurnya awet. Yang lahir dari ikut-ikutan, viral seminggu terus hilang.”
Celetuk Bagong
“Keramik itu keras, tapi prosesnya lembut.
Manusia itu lembut, tapi hidup sering keras.
Makanya kalau lihat karya begini, hati rasanya ditaboki pelan-pelan.”
Catatan Semar
Empat mahasiswa ini membuktikan: tanah liat saja bisa berubah jadi karya bernapas.
Lha manusia yang punya hati dan pikiran, masak berhenti jadi penonton?
















