Di tengah zaman digital yang kadang lebih panas dari sambal korek level 5, DPRD Jawa Timur lewat Mbak Hermin dari Fraksi Partai Gerindra bikin acara adem kayak kipas angin dua daya: Sarasehan bertema “Bersatu dalam Perbedaan: Toleransi Keberagamaan di Era Modern”. Acaranya digelar Minggu (18/5/2025) di Jember, tempat di mana kopi enak, tapi warganya lebih enak diajak guyub.
Tapi jangan salah sangka dulu, ini bukan sarasehan ala-ala seminar yang bikin ngantuk. Ini acara serius tapi santai, kayak ustaz TikTok tapi versi Dewan. Tokoh agama, komunitas lintas iman, emak-emak sholawat, bahkan warga yang awalnya cuma lewat—akhirnya ikutan duduk karena suasananya sejuk, bukan karena AC, tapi karena toleransinya.
Mbak Hermin, yang dikenal sebagai penerus “power of emak-emak” ala Gus Fawait, bilang, “Toleransi itu ibarat lauk pauk di meja makan. Ada tempe, ada ikan, ada rendang, ada pepes. Beda rasa tapi satu tujuan: kenyang bareng.” Wah, kalau politik bisa kayak lauk, mungkin kita udah kenyang dari dulu, ya.
Yang bikin acara makin nyentrik, Srikandi Laskar Sholawat Nusantara (LSN) yang digawangi Mbak Hermin ini bukan Srikandi biasa. Di dalamnya ada muslimat, Aisyiyah, Muhammadiyah, LDII, bahkan umat Nasrani dan Hindu ikut nyatu. Lengkap sudah! Kalau ini direkam, bisa viral jadi sinetron “Toleransi Tanpa Batas – Episode Emak-emak Bersatu Tak Bisa Dikalahkan.”
Sarasehan ini bukan cuma buat formalitas selfie lalu hilang di grup WA. Tapi tujuannya biar masyarakat paham, bahwa beda agama bukan alasan untuk beda hati. Apalagi di era digital, di mana orang lebih cepat tersulut komentar di Facebook daripada baca isi kitab sucinya. “Harapan kami bisa menyerap aspirasi masyarakat. Program-program bisa langsung dirasakan,” ujar Mbak Hermin sambil meneguk teh manis (katanya biar omongannya makin manis).
Tentu, kita tak bisa abaikan sindiran tipis dari acara ini: di saat sebagian politisi sibuk debat di ruang rapat ber-AC dengan jargon keberagaman, di sini emak-emak dan warga dari berbagai iman sudah praktik langsung toleransi. Nggak pake nunggu pas pemilu doang!
Nah, Gareng cuma bisa nyeletuk: “Kalau semua anggota dewan kerja kayak begini, mungkin rakyat nggak cuma kenyang harapan, tapi juga kenyang nasi beneran.”
Jadi, toleransi itu bukan soal posting quotes bijak di Instagram. Tapi soal duduk bareng, makan bareng, dan ketawa bareng meski lauknya beda. Karena, di meja makan bangsa ini, semua punya tempat—asal gak rebutan sendok.
Toleransi? Gampang kok: asal kita gak ngerasa paling benar sendiri. Sisanya tinggal ngopi.
(Yono/Garengpetruk.com)