Jakarta, GarengPetruk.com – Di sebuah hotel yang namanya nyeni banget — Mangkuluhur Artotel Suites, Jakarta Selatan — Dewan Pers resmi meluncurkan apa yang disebut sebagai Mekanisme Nasional Keselamatan Pers. Acara ini digelar tanggal 24 Juni 2025. Tanggalnya manis, momennya serius, niatnya mulia. Tapi… jangan-jangan besok lusa tinggal diarsipkan jadi kenangan.
Acara peluncuran ini ditandai dengan penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB). Bukan SKB sekadar basa-basi, tapi katanya serius buat melindungi jurnalis yang sering di lapangan kayak ninja: nyamar, nyelidik, dan sering kali nyaris hilang gara-gara berita kritis.
Tamu-tamunya nggak kaleng-kaleng: dari pejabat kementerian, wakil negara sahabat, hingga insan media yang (semoga) masih punya idealisme, meski amplop dan tekanan kadang menggoda iman.
Ketua Dewan Pers: Pers Sehat, Negara Nggak Sembelit
Ketua Dewan Pers, Komarudin Hidayat, membuka acara dengan wejangan yang adem tapi makjleb. Katanya:
“Pers sehat, negara sehat. Saat ini kita sedang memberantas korupsi sesuai program kerja Presiden Prabowo. Untuk itu, perlu sinergitas antara pers dan pemerintah.”
Wah, mantap, Pak! Semoga sinergi ini bukan sinergi yang artinya: wartawan disuruh diam, asal dikasih teh manis dan nasi box. Soalnya sinergi itu kadang jadi kata yang bikin wartawan mikir dua kali: nulis bener disemprit, nulis sopan dibilang “tidak kritis”.
Satgas Baru, Semangat Baru?
SKB yang diluncurkan ini juga menandai kelahiran kembali Satgas Kekerasan terhadap Wartawan, yang kini berganti nama jadi: Satuan Tugas Nasional Keselamatan Pers. Wah, dari namanya aja udah nasional banget. Tinggal doanya: jangan hanya nasional di nama, tapi juga nasional dalam kerja nyata. Jangan-jangan yang berubah cuma plakatnya, isinya masih rebahan.
Harapannya, Satgas ini bukan hanya nongol saat ada kasus viral, tapi hadir preventif. Bukan jadi pemadam kebakaran, tapi jadi pagar hidup buat jurnalis-jurnalis yang kerja serius, bukan jurnalis dadakan yang kerja setengah serius, setengah selfie.
Antara Etika, Nyali, dan Amplop
Komarudin juga ngingetin: kebebasan pers itu bukan kebebasan ngawur. Harus tetap menjunjung etika jurnalistik, bukan etika sobat viral. Etika yang bikin wartawan bukan cuma cepat, tapi juga cermat. Bukan cuma heboh, tapi juga jernih.
Tapi jangan salah, Pak. Kadang wartawan udah etis, udah nulis sesuai kaidah, tapi nasibnya malah nangis darah. Dari intimidasi, ancaman, bahkan… dilaporkan balik pakai UU ITE. Lah, ini wartawan atau pesulap? Udah dibungkam, disalahin pula!
Kritik Tipis-Tipis Ala Gareng
Kami dari GarengPetruk.com ingin titip pesan sederhana:
Kalau wartawan butuh perlindungan, itu tandanya demokrasi sedang butuh pertolongan.
Mekanisme keselamatan pers jangan cuma jadi proyek seremonial. Jangan kayak peluncuran aplikasi pemerintah: ramai saat launching, sepi pengguna karena ngelag dan nggak jelas gunanya.
Antara Harapan dan Sindiran
Semoga dengan mekanisme ini, jurnalis tidak perlu lagi nulis sambil tengok kanan-kiri, nyawa taruhannya. Semoga pers tetap bisa kritis tanpa harus dikejar pasal. Dan semoga… pemerintah sadar, bahwa kritik dari pers bukan musuh, tapi vitamin.
Karena negeri tanpa pers merdeka, ibarat nasi uduk tanpa sambal: hambar, menyesakkan, dan nggak layak dibagikan.
Hidup jurnalis!
Hidup naskah yang bebas dari sensor dan rasa takut!
Hidup demokrasi — kalau masih ada…
Salam satir,
Gareng Petruk – suara rakyat yang tak bisa dibungkam dengan spanduk dan nasi kotak.















