Oro-Oro Ombo, Kota Batu — 11 Juni 2025.
Ribuan warga dari 13 RW tumplek blek di jalan desa, bukan karena rebutan sembako, bukan juga karena nunggu Pak Kades bagi-bagi wifi gratis, tapi karena Karnaval Budaya Nusantara yang bikin desa ini kayak dicat ulang pakai kuas pelangi dan semangat gotong royong.
Kata orang kota: “Itu event budaya.”
Kata Gareng: “Itu pesta rakyat, bung! Panggung rakyat nari, birokrasi ngopi!” ☕

—
Bukan Karnaval, Ini Rakyat Pamer Kewarasan
Jalan desa yang biasanya dilewati motor ngebul dan tukang sayur bersayap (baca: vespa rombeng), kini disulap jadi catwalk rakyat. Ogoh-ogoh berdiri gagah, Tari Saman menghentak hati, Tari Piring melempar makna (dan piring juga, dikit), gamelan berdentum bukan karena lomba desa, tapi karena jiwanya memang hidup.
> “Negara boleh lupa, tapi rakyat enggak pernah kehilangan rasa.”
Warga dari anak-anak sampai simbah-simbah bergincu, semua terlibat. Yang biasanya cuma nonton sinetron, kini tampil di depan layar nyata: jalanan desa!
Dan hebatnya, ini bukan dibayar!
Mereka rela dandan kayak patung semar, bukan karena ada amplop, tapi karena ada cinta.
—
Ketika Rakyat Lebih Kreatif dari Anggaran
Hebatnya lagi, ini karnaval nggak dibiayai dari APBD yang biasanya ngilang kayak sinyal di tengah sawah. Tapi dari keringat rakyat, niat tulus, dan gotong royong—yang katanya sudah hilang, ternyata masih nyantol di Oro-Oro Ombo.
Sementara itu, di gedung-gedung tinggi sana, orang rapat 3 jam cuma buat nyusun RAB. Di sini?
Orang nongkrong 10 menit, hasilnya: panggung meriah, ogoh-ogoh berdiri, warga berseri.
Lho, siapa bilang rakyat enggak bisa manajemen?
> Yang penting bukan gelar, tapi greget!
—
Pak Kades Bicara, Rakyat Berkarya
Pak Wiweko, Sang Kepala Desa, bicara penuh semangat:
“Ini bukan sekadar hiburan, tapi pernyataan budaya!”
Wih, jarang-jarang pejabat ngomong kayak seniman. Biasanya kan: “Sudah kami anggarkan,” atau “Dalam waktu dekat akan ditindaklanjuti.”
Tapi Pak Wiweko beda, beliau paham bahwa budaya bukan buat dipajang pas lomba antar kecamatan, tapi buat dijalani setiap hari.
> “Kebudayaan bukan cuma tari dan topeng, tapi juga cara rakyat saling nunduk, saling nyumbang, saling sayang.”
—
Karnaval Ditutup, Tapi Rakyat Terbuka
Karnaval ditutup dengan kolaborasi seni yang bikin bulu kuduk merinding, bukan karena setan, tapi karena haru. Lagu-lagu daerah mengalun, mengingatkan kita:
Negeri ini terlalu indah untuk dikotakkan oleh politik dan terlalu kaya untuk disederhanakan oleh kebijakan setengah hati.
—
Catatan Gareng:
> “Rakyat itu bukan beban pembangunan,
tapi sumber semangat yang sering dilupakan.”
Oro-Oro Ombo membuktikan:
Tanpa sponsor, tanpa selebritas, tanpa drone dan promosi di Instagram—budaya bisa tetap hidup, asal rakyatnya tidak disuruh diam.
Hati-hati, kalau rakyat sudah bisa bikin karnaval sehebat ini,
besok-besok bisa juga bikin kebijakan sendiri.
Lha wong yang di atas kadang malah sibuk bikin alasan.
















