Selamat datang di babak baru republik ini:
Satu sisi bicara “masa depan hijau”, sisi lain bawa ekskavator ke jantung surga. Raja Ampat, tempat di mana karang tumbuh seperti doa, sekarang sedang disiapkan jadi kolam limbah nikel. Dunia menyebut ini “kemajuan”. Gareng Petruk menyebut ini “bunuh diri ekologis dengan gaya anggun dan senyum palsu.”
—
1. Pintu Surga Kini Jadi Pintu Tambang
Raja Ampat itu bukan cuma indah. Dia suci. Lebih tua dari republik ini, lebih jernih dari niat politikus. Tapi sekarang, ia dipasrahkan ke tangan investor yang doyan mengelus peta dan menunjuk pulau sambil berkata:
“Bisa kita korek ini.”
Fakta Intelijen:
Pulau Kawe dan Batanta sudah dikepung izin tambang.
PT Antam, anak kandung BUMN, ikut bermain.
Investor dari luar dan dalam negeri menempel seperti lintah, siap menyedot darah dari tubuh pulau.
Kawasan konservasi laut kini fleksibel, asal harga cocok.
Saking elastisnya undang-undang kita, Raja Ampat bisa jadi apa saja: taman nasional, ladang tambang, bahkan kuburan massal karang-karang mati.
—
2. Nikel: Emas Baru, Bencana Lama
Mobil listrik butuh nikel. Baterai masa depan dibangun dari kerak bumi. Tapi siapa yang akan hidup di atas tanah yang sekarat?
Data Kotor yang Jarang Dipamerkan:
Tambang nikel menghasilkan tailing (limbah padat dan cair) yang penuh logam berat.
Di Sulawesi dan Halmahera, tambang nikel sudah menciptakan zona mati—laut berubah warna, udara beracun, tanah mati.
Skema yang sama kini disiapkan di Raja Ampat, hanya bedanya: ini surga, bukan sisa hutan yang sudah gosong.
Kita sedang membunuh sumber daya yang tak bisa diulang. Demi energi bersih, kita pakai cara paling kotor. Ironis, bukan?
—
3. Masyarakat Adat: Dibungkam Dengan Kompensasi
Orang-orang Kawe, Batanta, dan pesisir Sorong bukan orang bodoh. Tapi mereka dihadapkan pada pilihan palsu: uang atau pengkhianatan.
> “Kami dijanjikan jalan, listrik, pekerjaan. Tapi yang datang malah truk-truk besar dan tanah longsor,” kata seorang tokoh adat.
Ada yang ditakut-takuti. Ada yang dibeli suaranya. Sisanya, dibiarkan mati pelan-pelan sambil melihat laut berubah jadi kolam logam.
Di tempat lain, orang kampanye soal “keadilan iklim”. Di Raja Ampat, keadilan itu dikapalkan keluar negeri dalam bentuk bijih mentah.
—
4. Permainan Izin: Legal Tapi Brutal
Gareng pernah lihat peta izin tambang Raja Ampat. Mirip jantung yang ditusuk dari segala arah. Izin eksplorasi, izin usaha, revisi zonasi. Semua sah. Semua “resmi”. Tapi juga semua membusuk.
Intelijen lapangan membocorkan:
Banyak izin keluar tanpa konsultasi publik yang layak.
Ada nama-nama pengusaha yang juga pemilik partai.
Amdal disusun seperti formalitas: tebal di kertas, tipis di nurani.
Ini bukan pembangunan. Ini adalah perampokan bersarung undang-undang.
—
5. Kritik dari Lubuk Terdalam: Ini Bukan Sekadar Tambang
Ini bukan soal “setuju atau tidak setuju” tambang. Ini soal cara berpikir yang rusak.
Negara lebih percaya pada logam daripada laut. Lebih sayang pada devisa daripada rumah nelayan.
> Apakah uang bisa menumbuhkan kembali karang yang butuh 50 tahun untuk tumbuh 10 cm?
> Apakah harga nikel bisa mengganti air bersih yang diracuni logam berat?
> Apakah “green economy” bisa lahir dari rahim yang sedang dibakar?
Kita sedang menciptakan masa depan yang maju di atas mayat ekosistem. Dan Raja Ampat sedang ditawarkan jadi martir pertama.
—
6. Usulan Terakhir Sebelum Dunia Marah
Gareng tahu, mungkin suara ini kalah oleh suara mesin. Tapi suara rakyat jangan diam. Maka ini tuntutan Petruk:
1. Hentikan seluruh aktivitas tambang di Raja Ampat. Sekarang.
2. Audit semua izin, buka semua dokumen, adili yang bermain curang.
3. Libatkan masyarakat sebagai subjek utama, bukan korban peradaban.
4. Kembangkan Raja Ampat sebagai pusat ekowisata dunia.
5. Bangun ekonomi berbasis laut lestari, bukan tambang sesaat.
—
Penutup: Tak Ada Jalan Pulang dari Surga yang Hancur
Raja Ampat bukan hanya milik Papua. Ia milik planet ini. Dan ketika kita menggadaikannya untuk nikel, kita sedang menulis surat bunuh diri kolektif.
“Jika bumi adalah ibu, maka kita sedang memerkosanya pelan-pelan, pakai alat berat, diiringi lagu kebangsaan.”
—
#SelamatkanRajaAmpat
#NikelAdalahNerakaBerbentukLogam
#JanganBunuhSurgaUntukMobilOrangKaya
—
Karena kadang, yang lebih tajam dari cangkul tambang, adalah kalimat yang menyindir hingga tulang.
Diam itu emas, tapi emas sekarang nikel. Maka lebih baik teriak.
















