Di sebuah warung soto sederhana pinggir jalan, di tengah kota yang riuh dengan bunyi klakson dan obrolan, duduklah seorang pria bernama Gareng dan wanita bernama Kunti. Eits, jangan salah, mereka bukan tokoh pewayangan, ya. Mereka ini cuma warga biasa yang, seperti kebanyakan orang, sedang dikejar-kejar oleh realitas hidup: pekerjaan yang nggak kunjung beres, tagihan yang makin menumpuk, dan cinta yang kadang terasa rumit, kayak jalan tol yang kena macet di hari libur.
Gareng, pria dengan gaya kemeja rapi tapi sepatu bolong di tumit, adalah tipe pria yang percaya bahwa cinta bisa ditambal seperti ban bocor. Selalu ada solusi, katanya. Sedangkan Kunti, wanita berambut sebahu dengan senyum manis yang kadang berubah jadi cemberut kalau WiFi ngadat, percaya kalau cinta itu kayak kuah soto. Harus diaduk dulu biar terasa bumbunya, tapi kalau kebanyakan angin, ya, jadi hambar.
Hari itu, mereka duduk berdua di warung soto langganan mereka. Gareng memesan soto ayam komplit, sementara Kunti hanya memesan teh hangat. “Lagi diet?” tanya Gareng sambil mengangkat alis.
Kunti menatapnya sinis. “Diet? Enggak, aku cuma lagi diet percaya sama omongan orang,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
Cinta dan Soto: Ada yang Kurang Bumbu, Ada yang Kebanyakan Drama
Dalam keheningan yang hanya ditemani suara sendok dan garpu beradu dengan mangkuk, Gareng membuka obrolan. “Kamu percaya nggak, cinta itu kayak soto?”
Kunti memandangnya dengan tatapan bingung, seolah Gareng baru saja mengatakan bahwa bumi itu segitiga. “Maksud kamu?”
Gareng mengaduk kuah sotonya dengan penuh semangat. “Cinta itu, kayak soto. Awalnya panas, bikin semangat. Tapi kalau didiamkan terlalu lama, jadi dingin dan nggak enak.”
Kunti tertawa kecil. “Kamu terlalu banyak nonton drama cinta, Gareng. Cinta itu nggak bisa dibandingin sama soto. Lagipula, soto kalau dingin masih bisa dihangatkan lagi.”
“Tapi nggak akan pernah sama rasanya kayak waktu pertama kali disajikan,” balas Gareng dengan nada sok bijak, seakan-akan dia baru saja menulis buku filsafat cinta.
Kunti meneguk tehnya sambil tersenyum. “Ah, kamu ini. Jadi menurutmu, cinta itu kayak makanan yang cepat basi? Itu artinya, kamu harus terus-terusan menambah bumbu biar tetap menarik? Atau mungkin kamu butuh kecap lebih banyak biar manis?”
Gareng terdiam, sedikit terpojok oleh sindiran halus itu. “Ya… mungkin memang begitu. Cinta juga butuh usaha, kan?”
Cinta, Kuota, dan Janji-Jani yang Sering Menguap
Mereka berdua terdiam sesaat. Gareng menyadari satu hal—cinta memang bukan sekadar soal perasaan hangat seperti kuah soto yang baru disajikan. Kadang, cinta juga soal berapa banyak kuota yang dihabiskan buat video call, atau berapa banyak janji yang harus diingkari karena sinyal jelek.
“Kamu tahu nggak, Gareng,” ujar Kunti tiba-tiba, “cinta di zaman sekarang itu kayak WiFi gratisan. Semua orang mau, tapi nggak semua bisa terhubung dengan baik.”

Gareng tertawa, kali ini dengan tulus. “Iya juga, ya. Kadang koneksi lancar, kadang buffering. Tapi kalau lagi putus sinyal, kebanyakan orang lebih milih nyari hotspot baru daripada berusaha nyambungin lagi.”
Kunti mengangguk, seolah mereka baru saja menemukan rahasia besar kehidupan. “Cinta itu harus ada pengorbanan, Gareng. Kalau cuma mau yang gampang dan cepat, ya bakal kebanyakan drama. Sama kayak kamu yang suka ngeluh kalau kuota habis pas lagi asyik nonton YouTube.”
Gareng tersenyum. “Jadi, menurut kamu, cinta itu bukan soal kecepatan atau kehangatan pertama. Tapi soal bagaimana kita terus menjaga sinyal tetap kuat, ya?”
Kunti mengangkat bahu. “Mungkin begitu. Dan jangan lupa, cinta juga perlu kesabaran. Kayak nunggu sinyal 4G di daerah pedalaman.”
Kesimpulan: Cinta, Soto, dan Hidup yang Terus Berputar
Mereka berdua tertawa kecil. Mungkin obrolan mereka terdengar seperti lelucon, tapi di dalamnya terselip kebenaran yang tak bisa dipungkiri. Cinta, seperti soto yang sedang diaduk-aduk Gareng, butuh perawatan. Butuh usaha. Kadang cinta bisa terasa panas membara, tapi kalau dibiarkan terlalu lama, ya, seperti kata Gareng: bisa dingin, bisa hambar.
“Cinta itu sederhana,” kata Petruk sambil menghabiskan tehnya. “Yang penting jangan kebanyakan drama, kebanyakan bumbu. Kalau terlalu pedas, nanti malah bikin sakit perut.”
Gareng mengangguk setuju. “Dan jangan lupa, kita tetap butuh keseimbangan. Cinta itu kayak soto komplit: ada ayam, ada bihun, ada seledri, dan tentu saja… kerupuk.”
Mereka berdua tertawa lagi. Di warung soto yang sederhana itu, di antara kuah panas dan senda gurau, cinta terasa begitu ringan dan menyenangkan. Bukan tentang keagungan atau perjuangan besar, tapi tentang bagaimana kita menjaga rasa tetap hangat, sambil sesekali menertawakan kesulitan kecil yang datang menghampiri.
Karena pada akhirnya, cinta yang sederhana—yang penuh tawa, sindiran, dan sedikit kuah soto—adalah yang paling berarti.














