Halo Sobat Budaya masa depan! Kalau Penulis bilang, budaya zaman sekarang itu sudah bukan cuma soal “tari tradisional” atau “upacara adat” yang kita lihat di TV atau Instagram. Budaya itu sudah masuk ke ranah digital dan globalisasi yang super cepat, di mana segala sesuatu bisa di-upload, di-streaming, dan viralin dalam hitungan detik. Mari kita bedah bagaimana digitalisasi dan globalisasi mengubah budaya kita, khususnya bagi generasi masa depan yang melek teknologi.
Unsur-Unsur Budaya Versi 4.0: Dari Sistem Pengetahuan ke Kearifan Viral
Kalau dulu Koentjaraningrat bicara soal 7 unsur budaya (religi, sistem kemasyarakatan, pengetahuan lokal, mata pencaharian, teknologi, kesenian, bahasa), sekarang unsur-unsur itu juga punya versi digitalnya, Sob!
-
Religi dan Upacara kini punya versi “ritual upload” — upacara adat yang direkam dan dishare di media sosial, supaya “likes”-nya banyak dan jadi konten edukasi. Tapi, jangan sampai maknanya cuma jadi “konten lokal wisdom” tanpa pemahaman dalam.
-
Sistem Kemasyarakatan berubah jadi “komunitas zoom-gotong-royong”, di mana orang-orang gotong royong secara virtual. Tapi, hati-hati, jangan sampai “zoom meeting” malah jadi alasan absen dari kerja bakti asli.
-
Sistem Pengetahuan kini diperkaya oleh “kearifan viral”, pengetahuan lokal yang diadaptasi dan disebarkan lewat TikTok, YouTube, dan podcast. Petani yang bisa baca langit sekarang juga bisa live streaming supaya ilmu mereka lebih diapresiasi (Lindgren & Wong, 2012).
-
Mata Pencaharian berubah dari “sawah ke Shopee”, dari nelayan ke content creator. Profesi baru muncul, kayak “influencer kebudayaan” yang menggabungkan nilai tradisi dan digital marketing (Couldry & Mejias, 2019).
-
Peralatan dan Teknologi bukan cuma sabit atau mesin lagi, tapi gadget, AI, dan blockchain yang juga bisa dipakai untuk melestarikan budaya, misalnya NFT wayang yang bisa dipertukarkan secara digital (Arora & Rahman, 2021).
-
Kesenian nggak cuma dipentaskan di panggung, tapi juga di live streaming, VR, dan platform metaverse. Tapi ingat, honor jangan cuma virtual, tapi nyata juga di dompet!
-
Bahasa kini bersanding dengan bahasa gaul, emoji, dan caption lowercase yang bikin “esthetic”, yang semuanya jadi bahasa generasi digital (Danesi, 2016).
Pergeseran Budaya: Dari Difusi ke “Budaya Selfie”
Digitalisasi dan globalisasi membawa budaya ke tahap baru yang Penulis namakan “budaya selfie”. Budaya bukan cuma diwariskan, tapi juga dipamerkan, dikomentari, dan dibagikan ke dunia dalam format yang paling catchy. Ini adalah bentuk difusi budaya yang berlangsung sangat cepat, bahkan bisa bikin budaya lokal “viral” atau justru “luntur” dalam sekejap (Jenkins, 2006).
Fenomena seperti K-pop, makanan Korea, hingga tren fashion internasional jadi bukti kuat pergeseran budaya yang masif. Tapi, jangan lupa, jangan sampai budaya asli kita cuma jadi “konten nostalgia” tanpa generasi muda yang memaknai dan menghidupinya.
Tantangan dan Peluang untuk Generasi Masa Depan
Generasi masa depan harus jadi agent of cultural remix — menggabungkan kearifan lokal dengan inovasi global. Tantangannya besar: bagaimana menjaga budaya tetap hidup tanpa mengorbankan nilai asli, di tengah derasnya “ritual upload” dan “kearifan viral” yang kadang dangkal?
Di sinilah pentingnya membangun ekosistem budaya digital yang inklusif dan edukatif, di mana “komunitas zoom-gotong-royong” tidak hanya sibuk ketemu virtual tapi juga menerapkan nilai-nilai gotong royong nyata (Rheingold, 2012).
Penutup: Budaya Digital, Budaya Kita
Budaya bukan lagi soal “tradisional vs modern”, tapi soal bagaimana kita menjembatani dua dunia itu agar saling menguatkan. Digitalisasi dan globalisasi membuka peluang untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Indonesia dengan cara yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Jadi, mari jadikan budaya kita bukan hanya “pameran musiman” di Instagram, tapi menjadi rumah digital yang hangat dan hidup untuk seluruh generasi, dengan bahasa dan istilah baru ala Penulis yang membuat budaya terasa dekat dan menyenangkan!
Referensi
-
Arora, P., & Rahman, M. (2021). Blockchain and Cultural Heritage: Opportunities and Challenges. Journal of Digital Culture, 12(2), 45-62.
-
Couldry, N., & Mejias, U. A. (2019). The Costs of Connection: How Data Is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism. Stanford University Press.
-
Danesi, M. (2016). The Semiotics of Emoji: The Rise of Visual Language in the Age of the Internet. Bloomsbury Academic.
-
Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York University Press.
-
Lindgren, S., & Wong, A. (2012). From Local Wisdom to Viral Knowledge: Social Media and Indigenous Knowledge Dissemination. Media, Culture & Society, 34(3), 333-348.
-
Rheingold, H. (2012). Net Smart: How to Thrive Online. MIT Press.















