Bogor, Jonggol – Ramadan, bulan penuh berkah, juga bulan penuh kepedulian. Di tengah gemerlapnya iklan sirup dan diskon baju lebaran, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) kembali turun ke lapangan. Kali ini, melalui program BRI Peduli TJSL, BRI Kantor Cabang Cibubur menggandeng Yayasan Almazara Jonggol untuk menyalurkan 3.785 paket sembako kepada masyarakat Kabupaten Bogor.
Wah, kalau dihitung-hitung, 3.785 paket sembako ini kalau ditumpuk bisa jadi bukit mini! Tapi, tentu saja yang lebih penting bukan jumlahnya, melainkan dampaknya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.

Acara ini dihadiri oleh sejumlah perwakilan BRI, pihak yayasan, serta tokoh masyarakat setempat, Ibu Ratna Yuningsih. Antusiasme warga yang menerima bantuan pun luar biasa, wajah-wajah sumringah memenuhi lokasi. Namun, pertanyaan klasik tetap menggantung di udara: “Apakah bantuan ini cukup untuk menyambung hidup atau sekadar meredakan lapar sesaat?”
Kepedulian atau Gimik Ramadan?
Pemimpin Cabang BRI Cibubur, I Gusti Gede Supanca Mahardika, menyatakan bahwa program ini adalah wujud nyata komitmen BRI untuk tidak hanya melayani secara finansial, tetapi juga berbagi kebahagiaan.
“Kami ingin hadir lebih dari sekadar bank. Kami ingin menjadi bagian dari solusi sosial,” ujar Supanca dengan penuh semangat.
Tentu saja, kita semua tahu bahwa berbagi itu baik, apalagi di bulan suci Ramadan. Namun, Gareng dan Petruk tetap penasaran, apakah program sosial seperti ini hanya muncul saat Ramadan atau ada keberlanjutan sepanjang tahun?
Pak Leo, pimpinan Yayasan Almazara, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada BRI. Ia berharap kerja sama ini bisa terus berlanjut agar manfaatnya semakin besar.
“Kami sangat berterima kasih. Bantuan ini sangat berarti bagi masyarakat, terutama di masa sulit seperti sekarang,” katanya.

Rakyat Butuh Lebih dari Sekadar Paket Sembako
Sungguh, aksi BRI dan Yayasan Almazara ini patut diapresiasi. Namun, di balik semua itu, ada pertanyaan lebih besar: sampai kapan masyarakat harus bergantung pada bantuan seperti ini?
Hari ini dapat sembako, besok tetap harus cari cara untuk bertahan hidup. Ramadan berlalu, bantuan berkurang, sementara harga kebutuhan pokok tetap meroket seperti roket ke bulan!
Bukan bermaksud sinis, tapi kalau kepedulian ini bisa bertransformasi menjadi program yang lebih berkelanjutan, seperti pelatihan usaha atau akses modal untuk UMKM, tentu lebih mantap, bukan?

Jadi, wahai para pemangku kepentingan, mari kita jadikan Ramadan ini bukan sekadar momen berbagi, tetapi juga langkah awal menuju perubahan yang nyata! Jangan sampai Ramadan jadi satu-satunya waktu kita peduli.
Sebab perut rakyat tidak hanya lapar di bulan puasa!