Ceritane begini lur…
Gareng karo Petruk, lagi ngopi di warung Mak Nah. Ngobrol santai, tapi mata tajam dan lidah lebih tajam dari silet promo.
Gareng:
“Truk, kowe ngerti gak pasal 1 ayat 2 UUD 45 itu isi nya ‘Kekuasaan di tangan rakyat’?”
Petruk:
“Ngerti, Gar. Tapi sekarang kekuasaannya sudah pindah tangan… ke ormas! Rakyat cuma jadi penonton, kadang disuruh sorak-sorai kayak suporter bayaran.”
—
Sindiran dengan Gaya Wayang Modern
Negara ini sekarang sudah seperti dalang kesurupan. Lakon wayang ditulis rakyat, tapi yang main justru ormas-ormas bersarung kekuasaan. Rakyat di pinggir ring, ngelus dada sambil bilang, “Lha piye, negara aja lebih takut sama preman berbaju organisasi ketimbang sama konstitusi!”
Undang-undang ditekuk, hukum di-‘taplak’-i, demi menghindari “amarah” ormas. Bukan amar makruf nahi mungkar, tapi amar marah meminta jatah, nahi kritik asal beda, mungkar sekalian satu kelompok.
—
Struktur Bayangan Lebih Kuat dari Negara?
Iya, bener. Kayak dalang punya ‘dalang bayangan’. Presiden harus sowan, menteri harus permisi, polisi harus minta restu. Lha ini negara apa paguyuban RT ya?
Kalau kekuasaan sejati sudah dipegang kelompok di luar konstitusi, artinya kita sedang hidup dalam negara paralel: Negara Ormasia. Kekuasaan bisa ditarik, ditekan, atau digertak oleh demo massa dadakan, apalagi yang bawa toa dan seragam sendiri.
—
Kalau Gitu, Revisi UUD Aja Sekalian!
Gareng usul, UUD 1945 pasal 1 ayat 2 direvisi:
> “Kekuasaan berada di tangan ormas, dan dilaksanakan menurut ketentuan aturan medsos serta restu koordinator lapangan.”
Tapi ingat, ini bukan revisi serius. Ini revisi satir. Sebuah cermin retak untuk melihat bagaimana parahnya kondisi negeri kalau arah kapal dikemudikan bukan oleh nakhoda, tapi oleh penumpang paling galak.
—
Indonesia Emas 2045 atau Indonesia Cemas 2045?
Petruk nyeletuk sambil nyruput kopi:
> “Kalo negara terus nurut sama ormas, visi Indonesia Emas 2045 harus diganti: Indonesia Cemas 2045. Cemas ngerayain 100 tahun merdeka tapi malah dijajah mentalitas kekerasan, intimidasi, dan anti-kritik oleh bangsa sendiri”
—
Pesan Akhir Gareng:
“Negara harus ingat, kekuasaan bukan milik ormas, bukan milik segelintir yang teriak paling kenceng, tapi milik rakyat. Rakyat sing macul, rakyat sing mbayar pajek, rakyat yang disuruh milih tiap pemilu!”
—
Petruk nambah:
“kalau negara tidak cepat cepat intropeksi, kita bakal masuk ke masa depan sing ora lucu blas, Gar. Tapi selama kita masih bisa guyon, berarti kita masih bisa mikir.”
















