Gareng lagi pusing, Petruk ikut migren. Bayangin, di tengah rakyat jungkir balik mikir besok makan apa, DPR justru dapat kabar bahagia: tunjangan mereka naik. Kayak sinetron drama—satu sisi rakyat nangis banjir air mata, sisi lain para wakil rakyat ketawa sambil ngecek saldo.
Eh, ini bukan cerita fiksi ilmiah, lho. Ini realita Indonesia edisi “sakit tapi ngakak”.
Rakyat Main Petak Umpet Sama Harga
Buruh pabrik? Banyak yang di-PHK. Pedagang kecil? Jualan kayak main lotre, nggak tahu laku atau nggak. Sementara harga beras, cabai, minyak goreng naiknya lebih konsisten daripada sinyal WiFi di gedung DPR.
“Besok makan apa, Yah?” tanya anak.
“Besok kita ikut rapat DPR, Nak, biar bisa dapat tunjangan juga,” jawab bapaknya sambil garing.
DPR: Naik Tunjangan, Bukan Naik Empati
Lucunya, yang naik bukan rasa empati, tapi tunjangan. Coba bayangin, rakyat pakai odol tinggal sejari buat seminggu, DPR malah nambah fasilitas buat senyum di kamera.
Gareng nyeletuk:
“Lho, kok bisa tega, Truk?”
Petruk jawab:
“Ya bisa, Gar. Kan mereka wakil rakyat. Wakilnya naik, rakyatnya turun. Biar adil katanya.”
Lukisan Abstrak Keadilan
Statistik tunjangan DPR kayak lukisan abstrak—indah di atas kertas, tapi rakyat lihat malah bingung, “Iki gambar opo?”
Sementara kenyataan di pasar: ibu-ibu tawar-menawar sambil bawa kalkulator, bapak-bapak gaji tinggal tulang, dan mahasiswa hidupnya cuma ngandelin kopi sachet plus mi instan.
Bahaya Kesenjangan: Dari Iri Jadi Frustasi
Kalau ini dibiarkan, rakyat bisa makin jengah. Dari iri, berubah frustasi, lalu jadi meme viral. Bayangin, slogan “Wakil Rakyat” berubah jadi “Wakil Perut Sendiri”.
Solusi ala Petruk:
1. Alihkan tunjangan ke UMKM, biar tukang gorengan bisa tetap kasih tahu isi bukan angin.
2. Stop dulu kenaikan fasilitas sampai ekonomi stabil. Wong rakyat aja kalau lagi bokek, tahu diri nggak beli es kopi susu 25 ribu.
3. Turun ke rakyat, bukan ke mall. Tunjukkan solidaritas, jangan cuma solidaritas di mikrofon rapat.
Penutup ala Gareng
Bangsa ini butuh wakil yang bisa ngerasain perut keroncongan rakyat, bukan sekadar kursi empuk plus tunjangan selangit. Kalau DPR tetap ngotot naik tunjangan, jangan salahkan rakyat kalau nanti yang naik bukan lagi angka inflasi, tapi volume suara protes di jalan.
Karena, seperti kata Petruk:
“Bangsa besar itu bukan karena gedung DPR menjulang tinggi, tapi karena perut rakyatnya nggak kosong pas ngucapin Merdeka!”















