Mereka berjalan di antara bisingnya dunia,
menggenggam gemerlap, tapi merintih dalam diam.
Orang-orang yang menggugat langit,
karena menduga Tuhan terlalu jauh,
atau tak adil pada harap-harap mereka yang rapuh.
Di tangan mereka ada emas,
di pelukan mereka cinta fana,
di kepala mereka mahkota,
namun di dada mereka—
ada sunyi yang tak bisa ditawar dengan harta.
Mereka lupa,
bahwa dunia ini hanya perjamuan singkat,
roti dan anggur yang akan basi,
dan tamu-tamu akan pulang,
menuju jamuan yang abadi.
—
Wahai jiwa yang mengejar bayangan,
sampai kapan engkau berlari dari dirimu sendiri?
Engkau haus, tapi meneguk laut asin.
Engkau lapar, tapi menggigit bayangan roti.
Bukankah yang kau cari bukan kekayaan,
melainkan kedamaian?
Bukan pelukan sesama,
melainkan pelukan Sang Maha Cinta?
Lihatlah ke dalam, bukan keluar.
Langit yang kau gugat itu bukan di atas,
tapi tersembunyi di balik dinding hatimu.
—
Rumi pernah berkata,
“Kau lahir dengan sayap. Mengapa memilih merangkak?”
Kau punya ruh dari langit,
tapi sibuk membangun rumah di tanah yang fana.
Wahai kekasih Tuhan yang lupa,
kembalilah.
Bukan ke masjid atau gereja atau kerumah rumah yang lain,
tapi ke hatimu—
tempat Tuhan pertama kali memanggilmu dengan lembut.
—
Jangan tunggu usia menua untuk mengerti,
bahwa dunia ini hanya ujian,
bukan tujuan.
Yang tetap hanyalah Cinta.
Yang abadi hanyalah Dia.
Yang sejati hanyalah saat engkau
menerima takdir-Nya,
dalam senyap,
dan tersenyum dalam pelukan sunyi yang penuh makna.