Wahai para pemirsa langit dan bumi, pembaca koran dan grup WhatsApp RT 03 yang suka sebar hoaks, mari kita jeda sejenak dari kegaduhan duniawi—dari cicilan yang belum lunas, dari polusi udara dan janji politik yang lebih mulus dari jalan tol. Hari ini kita bicara soal Waisak—bukan “wisak” dompet habis gajian—tapi Waisak, perayaan suci umat Buddha yang membawa pesan cinta, damai, dan kebajikan. Iya, yang kita sering lupa pas lagi rebutan diskon di e-commerce.
Satu Hari, Tiga Momen Sakti
Waisak itu ibarat promo kombo spiritual: tiga momen dalam satu hari—kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Sang Buddha. Luar biasa, bukan? Kalau dalam sinetron, ini kayak satu episode langsung lahir, jadi ustaz, lalu wafat sambil background-nya pakai musik sendu. Tapi ini bukan fiksi. Ini ajaran tentang bagaimana hidup bisa diisi makna, walau kadang dompet dan hati kosong bersamaan.
Borobudur: Bukan Cuma Tempat Foto Prewed
Perayaan Waisak di Indonesia itu biasanya epic. Candi Borobudur jadi panggung utama, bukan buat shooting iklan pariwisata, tapi buat meditasi dan merenung. Ada pengambilan air suci dari Umbul Jumprit—tempat yang lebih jernih dari niat politikus pas kampanye. Lalu api abadi dari Mrapen—yang kalau bisa ngomong, mungkin udah protes, “kok saya terus yang diambil, yang lain mana?”
Ada juga Pindapata, di mana biksu-biksu keliling minta makanan. Tapi jangan salah sangka, ini bukan ngemis, ini latihan rendah hati dan ajakan untuk berbagi. Bukan kayak influencer yang ngemis endorse tapi sok dermawan pas live donasi.
Dan tentu, pelepasan lampion. Harapan mengudara, doa terbang ke langit, jauh dari komentar julid netizen. Kalau bisa, lampion itu jangan cuma bawa harapan pribadi, tapi juga harapan biar manusia sadar: bumi ini bukan tempat lomba menang-menangan, tapi rumah bersama yang butuh cinta dan logika.
Cinta Kasih: Bukan Sekadar Caption Instagram
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang makin penuh gengsi dan debat kusir di medsos, ajaran Waisak itu seperti teh hangat di pagi mendung. Mengajak kita mempraktikkan metta (cinta kasih), bukan cuma ke gebetan, tapi ke semua makhluk—bahkan ke nyamuk, walau kadang mereka nyebelin pas kita lagi meditasi.
Ini saatnya refleksi: apakah kita sudah benar-benar menjadi manusia? Atau baru sebatas wujud manusia, kelakuan aplikasi pinjol?
Kritik Sosial Versi Lembut, Tapi Nyelekit
Waisak juga mengingatkan kita, bahwa kebajikan itu bukan cuma buat pencitraan. Di negeri yang doyan bikin regulasi tapi lupa implementasi, pesan Buddha tentang hidup sederhana dan penuh pengertian kadang terdengar seperti mimpi utopis. Tapi bukan berarti nggak bisa. Kalau elit bisa nahan diri nggak saling nyinyir, rakyat pun bisa belajar saling peluk—bukan saling pukul.
Waisak dan Kita: Masih Waras di Tengah Wacana
Di tengah berita penuh konflik, hoaks, dan debat receh soal sandal hilang di masjid, Waisak datang seperti angin segar. Mengajak kita berhenti sejenak, merenung: apakah hidup ini sekadar ngejar status, atau memperbaiki isi?
Karena sejatinya, manusia itu bukan dinilai dari berapa banyak dia update status, tapi seberapa tulus dia memperbaiki sikap.
Penutup: Jangan Cuma Diam, Mari Nyala
Waisak bukan hanya milik umat Buddha. Ini adalah panggilan nurani untuk semua manusia. Untuk lebih sadar, lebih peduli, dan lebih waras. Kalau pemerintah sibuk ngurus proyek mercusuar, mari kita yang kecil ini jadi lentera. Nyala kecil yang menerangi.
Semoga kita bisa jadi manusia seperti yang Buddha ajarkan—bukan cuma pinter ngomong “damai itu indah”, tapi juga bisa senyum pas di depan orang yang gak kita sukai. Berat? Iya. Tapi itulah kebajikan.
Batu, 1252025
Tertanda: Gareng-Petruk, Versi Keyboard