Di tengah kesunyian malam yang basah oleh air mata, seorang hamba bersimpuh dalam sujud panjang. Tidak ada kata yang sempurna, hanya desah nafas yang rapuh:
“Tuhan, ajarkan aku cara merendah.”
Sebab aku telah terlalu sering ingin ditinggikan. Ingin dipuji, didengar, dihargai, dicintai oleh makhluk. Padahal aku tahu, semua itu fatamorgana. Seperti menimba air dari api, takkan pernah memuaskan dahaga jiwa.
Wahai Dzat yang Maha Tinggi, betapa kecilnya aku di hadapan-Mu.
Segala kebesaran yang kusemat pada diriku — itu palsu.
Segala pujian yang kucari — itu fana.
Segala harga diri yang kujunjung — itu rapuh.
Tapi Engkau, ya Rabb,
Engkau tidak rapuh saat aku roboh.
Engkau tidak menjauh saat aku runtuh.
Engkau mendekat, bahkan saat aku lupa bersujud.
Antara Rasa Takut dan Rindu
Cinta sejati kepada Tuhan bukan hanya dalam bentuk harap dan rindu, tetapi juga takut.
Takut yang bukan seperti takut pada api atau binatang buas, tapi takut kehilangan-Nya.
Takut dilupakan oleh-Nya.
Takut menjadi orang yang berjalan, tapi tak pernah sampai.
Takut menjadi ruh yang mengembara, tapi tak diizinkan pulang.
“Hati para pecinta gemetar bukan karena murka Tuhan, tapi karena mereka terlalu mencintai-Nya.”
Begitulah cinta seorang pecinta.
Rasa takutnya berasal dari rasa cinta yang terlalu dalam.
Mereka menangis bukan karena azab, tapi karena jarak.
Merendah Agar Diangkat
“Tuhan, ajarkan aku cara merendah…”
Kalimat itu bukan hanya doa, tapi jalan.
Sebab, kerendahan hati adalah gerbang pembuka semua makrifat.
Bagaimana bisa seseorang menengadah ke langit kalau hatinya masih ingin ditinggikan oleh bumi?
“Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut pada neraka, bakarlah aku di dalamnya.
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, jauhkanlah surga dari padaku.
Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, maka jangan Kau sembunyikan wajah-Mu dariku.”
Sungguh, hanya mereka yang merendah total yang bisa berdiri di hadapan-Nya tanpa topeng.
Menjadi Tanah
Tuhan, ajarkan aku cara merendah seperti tanah.
Yang diinjak semua makhluk, tapi tetap menumbuhkan bunga.
Yang ditimpa kotoran, tapi tetap memeluk benih kehidupan.
Bila Engkau ajarkan aku untuk jadi tanah, aku tahu itu lebih mulia dari segala mahkota.
Sebab dari tanah Engkau ciptakan Nabi, dan ke tanah pula semua akan kembali.
Ajarkan aku untuk merasa hina, agar aku tahu Engkaulah yang Maha Mulia.
Ajarkan aku menangis dalam sepi, agar aku tahu Engkaulah yang Maha Mendengar.
Ajarkan aku mencintai-Mu dalam diam, agar cinta ini menjadi murni dan utuh, tak dicemari pujian manusia.
Tuhan, Bawa Aku Pulang
Tuhan, aku bukan siapa-siapa.
Aku hanyalah hamba yang berjalan dalam kabut, tersesat oleh egoku sendiri.
Tapi malam ini, aku bersimpuh lagi.
Dengan tangan kosong, dan dada bergetar:
Tuhan, ajarkan aku cara merendah…
Agar aku tak lagi mencari tempat tinggi, selain di sisi-Mu.
Agar aku tak lagi haus pujian, selain panggilan-Mu: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai.”