Dalam sunyi malam, di bawah langit yang mengintip bumi, ada suara rakyat jelata yang berbisik, “Apakah kami hanya sekadar tangga untukmu naik ke puncak?” Suara itu lirih, tapi tajam, seperti pisau yang mengiris rasa keadilan. Mereka bertanya-tanya, mengapa hidup ini sering kali menjadi panggung drama di mana permintaan maaf dijadikan naskah murahan untuk menyelamatkan wajah, bukan menyelamatkan hati yang terluka?
Hati ini bertanya, wahai para tokoh yang katanya pembawa cahaya:
Apakah artinya permintaan maaf jika keluar hanya karena takut kehilangan kursi?
Apakah artinya menunduk di depan kamera, jika di belakang layar hatimu tetap sombong?
Jabatan dan popularitas adalah ujian sejati seorang ulama. Ketika kain serban mulai terasa seperti mahkota, ketika doa-doa berubah menjadi retorika yang dikemas dalam bahasa trending, di situlah hati kita diuji. Tawadhu itu bukan sekadar senyuman di mimbar, tapi bagaimana tetap rendah hati saat kekuasaan ada di tangan.
Namun, lucunya, ada juga yang berlaga ulama tapi ternyata cuma selebgram berpenampilan islami.
Ngaku “bersahaja,” tapi foto-fotonya lebih banyak daripada jemuran di kampung.
Katanya “zuhud,” tapi mobilnya lebih mahal daripada masjid kecil di pelosok desa.
Ketika rakyat jelata datang membawa keluh kesah, mereka bilang, “Maaf, jadwal saya padat. Bisa DM aja?”
Dan ketika akhirnya mereka meminta maaf di depan umum, kita bertanya:
“Apakah ini karena takut kehilangan jabatan atau benar-benar merasa bersalah?”
Jika permintaan maaf itu hanya demi menjaga popularitas, maafkan kami, kami tidak butuh. Karena hati kami bukan papan tulis yang bisa kau hapus seenaknya dengan spons palsu!
Wahai ulama yang sejati, jangan sampai rakyat jelata lebih tawadhu daripada mereka yang mengaku pemimpin spiritual. Karena sejatinya, yang disebut ulama adalah yang menjaga lisan agar tak melukai, menjaga hati agar tak jumawa, dan menjaga martabat orang lain agar tetap terhormat. Jika engkau berbicara tentang kasih, buktikan dengan tindak tanduk. Jika engkau berdakwah tentang keikhlasan, jangan hanya saat lampu kamera menyala!
Ingat, ulama itu bukan artis. Tapi kenapa akhir-akhir ini lebih banyak drama daripada doa?
Akhirnya, rakyat pun bergumam, “Barangkali ulama kami sedang sibuk dengan endorsement, sehingga lupa pada nasib kami yang hanya rakyat kecil ini.”
Jadi, jika suatu hari engkau kehilangan jabatan dan popularitas, jangan salahkan rakyat. Salahkan hatimu yang lupa pada tanggung jawab. Karena rakyat hanya bisa berharap, semoga engkau kembali belajar tawadhu, seperti dulu saat nama besarmu belum menguasai panggung dunia.
Dan untuk rakyat jelata, mari kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena sedih. Kadang, hidup ini memang lebih mirip komedi yang tragis.
















