Jakarta, garengpetruk.com – Warga migran di Batam akhirnya punya kabar lebih hangat dari kopi sachet dua ribuan—Shelter St. Theresia resmi “dimodalin” batu pertama pengembangan! Dipimpin langsung oleh Mgr. Aloysius Sudarso, S.C.J., Ketua Pengurus Caritas Indonesia, acara ini bukan sekadar misa syukur, tapi juga seperti soft opening restoran kasih, dengan menu utama: harapan dan pemberdayaan.
Jangan bayangkan shelter ini seperti rumah kontrakan petak yang diisi 12 orang plus galon dan jemuran. Oh tidak, Bung! Ini Shelter St. Theresia: bukan hanya tempat ngaso bagi migran yang kelelahan menunggu nasib, tapi juga jadi pusat pelatihan kerja dan informasi anti-TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) alias jebakan batman yang sering menyamar jadi lowongan kerja luar negeri.
Migran: Pejuang Rupiah yang Sering Tak Dianggap
Selama ini, para migran sering seperti mantan—pernah dekat, tapi sekarang dilupakan. Pergi ke luar negeri demi perut keluarga, pulangnya bawa trauma, bukan oleh-oleh. Nah, shelter ini mencoba membalik cerita. Migran yang dulu dianggap “paket tercecer di bandara” sekarang dikasih ruang, pelatihan, dan informasi. Siapa tahu, dari BLK ini muncul tukang jahit handal, tukang las profesional, bahkan ahli coding—semua bisa, asal diberi peluang dan alat.
Kritik Lembut ala Sutra, tapi Tajam Seperti Tagihan Listrik
Coba bayangkan, negara besar dengan slogan “beradab dan berkeadilan”, tapi warga marginalnya harus nunggu lembaga kemanusiaan untuk sekadar dikasih tempat tidur yang layak dan pelatihan kerja. Di mana negara ketika rakyatnya diciduk sindikat? Di mana negara ketika mereka dijual seperti barang diskonan online?
Tapi ya sudahlah. Untungnya, Caritas Indonesia, bersama gereja, LSM, dan tokoh-tokoh lokal, turun tangan. Bahkan aparat seperti Kabinda Kepri dan Wakapolda Kepri juga hadir. Mungkin mereka sadar, migran ini bukan kriminal, tapi korban sistem yang suka tidur siang pas rakyat lagi susah.
Shelter atau Oase?
Shelter St. Theresia ini ibarat warung kopi di tengah gurun: menyegarkan dan menyadarkan. Tak hanya bagi migran, tapi juga bagi kita semua yang mulai lupa arti kata kemanusiaan. Dan Batam, kota transit penuh cerita, jadi tempat yang tepat untuk memulai gerakan ini.
Katanya sih ini pilot project. Kalau sukses, Jakarta dan kota lain akan menyusul. Mari kita doakan, semoga bukan cuma jadi wacana seperti janji-janji pemilu, tapi benar-benar jalan seperti angkot yang nggak ngetem terlalu lama.
Pesan Terakhir dari Redaksi Gareng Petruk
Untuk para pejabat, kalau sempat mampir ke shelter ini, coba bukan cuma potong pita dan selfie. Dengar cerita mereka. Rasakan duka yang mereka telan diam-diam. Lalu pulanglah ke kantor dengan rencana, bukan sekadar laporan.
Karena kadang, dari shelter kecil ini, bisa lahir perubahan besar—asal kita semua berhenti pura-pura sibuk.