Indonesia – Penegakan hukum di Indonesia itu ibarat drama kolosal: penuh aksi, intrik, dan plot twist tak terduga. Kalau dijadikan sinetron, bisa jadi saingan serius untuk drama Korea. Ada momen-momen yang bikin rakyat tertawa getir, ada juga saat-saat di mana kita terpaksa bertanya, “Ini serius, atau cuma bercanda?”
Tegak Lurus di Atas Kertas, Belok di Kenyataan?
Mari kita mulai dari definisi dasar hukum. Dalam buku teks dan undang-undang, hukum itu tegak lurus, tidak pandang bulu. Siapa pun yang bersalah, harus dihukum, tidak peduli apakah dia orang kaya, pejabat, atau rakyat biasa. Nah, sayangnya, di Indonesia, hukum kadang punya kemampuan luar biasa: bisa belok sesuai arah angin.

Misalnya, ada kasus seorang pengendara motor yang ditilang karena lupa bawa helm. Hukumannya jelas, kena denda. Tapi anehnya, kalau pengendara itu adalah “orang yang dikenal” (baca: punya uang atau jabatan), tiba-tiba petugasnya jadi ramah, dan kasusnya selesai dengan senyuman. Sebaliknya, kalau rakyat biasa yang melanggar, siap-siap saja bayar denda. “Hukum kita adil, tapi adilnya beda-beda tipis tergantung siapa yang dilihat,” kata seorang bapak-bapak di pos ronda, sambil ngopi.
Kasus-Kasus “Mengejutkan” yang Bikin Kepala Menggeleng
Coba tengok kasus-kasus korupsi. Dari tahun ke tahun, daftar koruptor di Indonesia makin panjang, dan yang menarik, beberapa dari mereka malah terlihat lebih segar setelah keluar dari penjara. Baru-baru ini, ada satu kasus yang cukup viral: seorang pejabat yang terlibat korupsi miliaran rupiah mendapat hukuman yang “terbilang ringan” karena dianggap berkelakuan baik selama di penjara. “Mungkin dia rajin nyapu sel dan bantu masak, makanya dapat diskon hukuman,” celetuk netizen di Twitter.
Kontras dengan itu, ada kasus seorang ibu yang dipenjara hanya karena mencuri tiga buah kakao demi makan. Hukuman untuk kasus ini begitu cepat diputuskan, tanpa ada celah kompromi. “Kalau nyolong kakao aja bisa dipenjara, gimana yang nyolong duit negara? Ah, mungkin ada perbedaan harga di mata hukum,” canda seorang komentator di media sosial.
Pasal Karet: Fleksibilitas Hukum di Tangan yang Berkuasa
Di Indonesia, ada juga fenomena yang sering disebut “pasal karet.” Pasal-pasal ini elastis, bisa ditarik ulur sesuai kebutuhan. Contohnya, pasal pencemaran nama baik. Kritik di media sosial bisa dengan mudah dianggap sebagai pencemaran nama baik, terutama kalau yang dikritik adalah orang dengan pengaruh besar. Sebaliknya, kalau rakyat biasa yang kena bully atau dihina, lapor polisi bisa jadi panjang urusannya—sepanjang antrean sembako gratis.
Ambil contoh kasus seorang mahasiswa yang mengkritik kebijakan pemerintah daerah. Bukannya diberi ruang untuk berdiskusi, si mahasiswa malah dihadapkan dengan tuntutan hukum. Sementara itu, beberapa tokoh publik yang terang-terangan menghina di media sosial, tampaknya bisa berjalan santai tanpa takut dijerat hukum. “Hati-hati kritik di Indonesia, bisa bikin kamu viral… di meja hijau!” ujar salah satu warganet sambil tertawa sumbang.
Birokrasi Hukum: Cepat Kalau Mau, Lambat Kalau Perlu
Penegakan hukum di Indonesia juga punya ritme yang unik—kadang cepat, kadang lambat, tergantung kepentingan. Kasus-kasus yang melibatkan rakyat kecil biasanya selesai lebih cepat, mungkin karena nggak banyak ‘variabel’ yang perlu dipertimbangkan. Tapi, kalau kasusnya melibatkan nama besar atau pihak yang punya ‘koneksi’, siap-siap saja menunggu lama.

Sebut saja kasus-kasus besar yang berhubungan dengan lingkungan. Ada perusahaan besar yang diduga merusak hutan atau mencemari sungai, tapi proses hukumnya berjalan seperti siput—pelan, penuh pertimbangan, dan kadang berhenti di tengah jalan. Di sisi lain, seorang petani yang membuka lahan secara ilegal bisa dengan cepat diadili dan dihukum. “Hukum kita mungkin lebih sayang sama yang punya modal, kali ya,” sindir seorang aktivis lingkungan.
“Serius Tapi Bercanda” di Dunia Hukum
Penegakan hukum di Indonesia itu seperti gabungan antara serius dan bercanda. Di satu sisi, kita punya aturan ketat, undang-undang, dan lembaga hukum yang lengkap. Tapi di sisi lain, penerapannya sering kali penuh dengan anomali. Hukum yang seharusnya jadi pedoman, kadang berubah jadi alat untuk melindungi kepentingan mereka yang punya kuasa, sementara rakyat kecil? Ya… mereka harus bersiap jadi korban sistem yang kadang tidak berpihak pada keadilan sejati.
Tentu saja, ada banyak upaya reformasi hukum yang dijalankan oleh pemerintah. Beberapa langkah positif telah diambil untuk memperbaiki birokrasi dan menghilangkan korupsi di sistem peradilan. Tapi, seperti biasa, janji-janji reformasi kadang terasa seperti janji seorang pacar yang suka PHP—ada, tapi entah kapan ditepati.
Kritik dan Harapan: Jangan Sampai Hukum Jadi Dagelan
Rakyat Indonesia sebenarnya tidak berharap terlalu banyak. Mereka hanya ingin hukum yang adil, yang tidak memandang siapa pelaku atau siapa korban, tetapi benar-benar ditegakkan sesuai aturan. Jangan sampai hukum di negeri ini jadi bahan tertawaan di dalam negeri, apalagi di luar negeri.
Gareng Petruk berpesan: Penegakan hukum bukanlah drama, apalagi komedi. Ini soal keadilan, soal masa depan bangsa. Kalau hukum terus dimainkan seperti sekarang, jangan heran kalau rakyat cuma bisa menertawakan hukum yang katanya “tegak,” tapi nyatanya sering jatuh ketika disandarkan pada uang dan kuasa.
Jadi, mari kita doakan, semoga penegakan hukum di Indonesia bisa kembali ke jalurnya—bukan jalur tikus, tapi jalur keadilan yang sejati!
