Oleh Dr. H. Suparno, SH, MH, MM(Pakar Hukum Universitas Borobudur, Direktur Bahu Prabowo Pasukan 08, Pengacara Firma Hukum Maps Lawyer Indonesia)
Hukum Indonesia, seperti tubuh yang telah melintasi dekade demi dekade, menyimpan warisan pasal-pasal usang yang kadang lebih menjadi beban ketimbang solusi. Pasal-pasal yang ditulis puluhan hingga ratusan tahun lalu, sering kali menjadi penghalang bagi terciptanya keadilan yang relevan dengan zaman. Di sinilah pentingnya konsep pasalisasi, atau pembaruan pasal-pasal usang, yang bukan sekadar revisi tetapi menyeluruh, kritis, dan berorientasi pada masa depan.
Mari kita kupas bagaimana pasaliasi dapat menjadi jalan keluar bagi sistem hukum yang mulai menua, melalui tinjauan yang tajam, kritis, namun tetap menyenangkan.
Pasalisasi: Menafsir Ulang dan Menyusun Ulang Hukum
Apa itu pasalisasi? Secara sederhana, ini adalah upaya mengganti atau merekonstruksi pasal-pasal dalam undang-undang yang sudah kehilangan relevansi. Bukan hanya sekadar mengganti kata-kata, tetapi menyelami filosofi di baliknya dan menyesuaikannya dengan konteks kekinian.
Sebagai contoh, KUHP Indonesia, yang sebagian besar diwarisi dari pemerintah kolonial Belanda, menjadi bukti nyata bagaimana hukum yang usang masih bercokol di sistem kita. Meski KUHP baru telah disahkan, perjalanan menuju pasalisasi masih panjang karena banyak undang-undang sektoral yang juga perlu dirombak.
“Pasalisasi adalah cara kita menyegarkan hukum yang terlalu lama hidup dalam formalitas,” ujar saya dalam berbagai kesempatan diskusi hukum. Pasalisasi ini tidak hanya diperlukan untuk pasal yang benar-benar sudah usang, tetapi juga pasal-pasal yang terbukti tidak adil dalam praktiknya.
Mengapa Pasalisasi Itu Mendesak?
- Pasal yang Tidak Lagi Relevan dengan Teknologi
Hukum yang lahir sebelum era digital sering kali tidak mampu menjangkau permasalahan teknologi modern. Misalnya, aturan tentang privasi data dalam dunia maya atau transaksi elektronik masih banyak yang ambigu atau bahkan tidak diatur. - Norma Sosial yang Berubah
Masyarakat kita berkembang. Nilai-nilai yang dulu dianggap wajar kini mungkin sudah ketinggalan zaman. Pasal-pasal terkait kesetaraan gender, kebebasan berekspresi, hingga perlindungan minoritas sering kali menjadi korban dari hukum yang statis. - Pasal dengan Bahasa Arkais
Banyak pasal dalam undang-undang lama menggunakan terminologi yang membingungkan atau tidak relevan lagi. Hukum harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat tanpa kehilangan maknanya. - Keadilan Substansial yang Terkikis
Dalam banyak kasus, pasal usang sering kali menciptakan ketidakadilan. Contoh nyata adalah pasal yang menjerat masyarakat kecil secara tidak proporsional dibandingkan dengan pelaku kejahatan besar yang justru lolos dari jerat hukum.
Contoh Pasal Usang yang Butuh Pasalisasi
- Pasal tentang Perzinahan dalam KUHP Lama
Pasal ini sering kali menjadi alat kontrol moral, tetapi penerapannya tidak lagi relevan dengan nilai kebebasan individu di era modern. - Aturan Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE
Pasal-pasal ini sering kali disalahgunakan untuk membungkam kritik. Perlu pasaliasi agar tidak mengekang kebebasan berekspresi, namun tetap melindungi martabat seseorang. - Hukum Pidana Lingkungan yang Lemah
Banyak regulasi lingkungan yang tidak lagi memadai untuk menghadapi krisis iklim. Pasaliasi harus mampu memberikan sanksi yang lebih tegas terhadap perusakan lingkungan.
Pasalisasi yang Berorientasi pada Masa Depan
Namun, pasalisasi bukan sekadar mengganti pasal usang dengan yang baru. Ia harus berorientasi ke masa depan, dengan mempertimbangkan tren global dan perkembangan masyarakat.
- Pendekatan Berbasis Data
Pasaliasi harus didasarkan pada riset mendalam. Data tentang dampak pasal-pasal tertentu pada masyarakat dapat menjadi dasar untuk menyusun regulasi baru yang lebih efektif. - Kolaborasi Multidisiplin
Hukum tidak dapat berdiri sendiri. Dalam pasaliasi, penting melibatkan pakar teknologi, sosiolog, ekonom, dan praktisi lainnya untuk menciptakan pasal yang holistik dan relevan. - Uji Publik yang Transparan
Masyarakat harus dilibatkan dalam proses pembaruan pasal. Uji publik yang transparan akan memastikan bahwa hukum baru benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat.
Tantangan dalam Pasalisasi
Tentu, pasalisasi bukan tanpa hambatan. Ada resistensi dari pihak-pihak yang nyaman dengan status quo, lambannya proses legislasi, hingga kepentingan politik yang sering kali menghalangi pembaruan hukum.
Namun, seperti yang saya katakan, “Hukum yang tidak beradaptasi akan kehilangan jiwanya. Jika kita tidak berani mengubahnya, maka hukum hanya akan menjadi alat pembenaran kekuasaan, bukan keadilan.”
Penutup: Menghidupkan Hukum untuk Masa Kini dan Masa Depan
Pasalisasi pasal-pasal usang bukan hanya tentang memperbaiki apa yang salah, tetapi juga menciptakan hukum yang mampu menjadi pelita keadilan. Ini adalah tanggung jawab kita bersama—akademisi, legislator, penegak hukum, dan masyarakat—untuk memastikan bahwa hukum kita tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga di hati rakyat.
Mari kita segarkan hukum kita, buang yang usang, dan hadirkan yang relevan. Karena pada akhirnya, hukum yang hidup adalah hukum yang berpihak pada keadilan, bukan hanya pada formalitas.
“Pasalisasi adalah cermin keberanian kita untuk bergerak maju, tanpa melupakan akar keadilan itu sendiri.”
Ditulis untuk Pojok Hukum Portal Berita Gareng Petruk.