Wahai para sedulur sak Gareng Petruk, mari kita duduk ngopi dulu, sebelum hati ini mendidih melihat kelakuan para penghuni singgasana negeri Antah Berantah. Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, tapi kalau urusan korupsi, duh… bisa-bisa masuk final World Cup!
Korupsi Sistemik: Bukan Lagi Hama, Tapi Sudah Kayak Oksigen
Korupsi di negeri ini, kalau kata Petruk, sudah bukan sekadar penyakit. Tapi bagian dari sistem kekebalan tubuh negara. Kalau nggak korupsi, dianggap nggak normal. Sampai-sampai KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) bukan lagi dosa, tapi jadi syarat masuk klub elite!
Coba pikir, kenapa bisa terjadi begitu? Karena ada satu geng yang kerjanya megang remote control: Oligarki! Iya, itu lho, geng sembilan naga, sepuluh raja, dan dua belas sultan yang bisa atur harga cabe sampai ketok palu undang-undang.
Oligarki: Mahluk Mitologi yang Punya KTP Elit
Mereka ini, kalau kata Gareng, seperti siluman berjubah batik. Kadang muncul di TV, kadang di balik layar. Tapi satu yang pasti: mereka selalu hadir waktu proyek dibagi-bagi. Kalau ada anggaran, mereka datang. Kalau ada hukum ditegakkan, mereka menghilang.
Mereka bisa sulap kasus korupsi jadi seminar motivasi. Bisa ubah bukti jadi “miss komunikasi”. Bahkan, kalau Petruk ngomong terlalu keras, bisa-bisa dituduh menyebar hoaks. Lha gimana, wong yang salah malah dapat jabatan, yang jujur malah dimutasi ke Antartika!
Sistem Hukum Kita: Tajam ke Bawang Merah, Tumpul ke Bawang Putih
Lembaga hukum di negeri Antah Berantah ini, kalau kata Petruk, seperti sendok garpu di restoran mewah: mengkilap, tapi nggak dipakai buat makan rakyat kecil. Malah dipakai buat nyuapin para pemilik kuasa. Biar makin kenyang dan makin rakus.
Dan jangan tanya soal undang-undang. Dibikin rame-rame, tapi isinya pesanan. Ada pasal titipan, ada ayat bersyarat. Bahkan, yang menolak bisa dibilang anti-pembangunan, anti-nasionalisme, dan kadang malah dituduh belum bayar cicilan.
Apa Solusinya, Cak?
Gareng dan Petruk sepakat, kita butuh revolusi… tapi yang nggak pake senjata. Yang kita butuh adalah:
1. Transparansi yang sebening air galon baru, bukan yang udah dicampur kopi.
2. Lembaga pengawas yang berani, bukan yang doyan nasi kotak dari proyek-proyek gelap.
3. Pemilu tanpa serangan fajar, karena rakyat bukan ayam yang dikasih jagung bisa langsung nurut.
4. Rakyat yang melek, bukan cuma melek Wi-Fi, tapi juga melek politik dan hukum.
Kesimpulan: Lawan Oligarki? Bisa, Asal Kita Nggak Gampang Lupa
Petruk pernah bilang, “Negara ini bukan kekurangan orang pinter, tapi kebanyakan yang pinter ngibul!” Maka, mari kita jadi rakyat yang cerdas, bukan cuma jadi netizen yang viral. Kalau mau negeri ini bebas korupsi dan oligarki, jangan cuma ngeluh di grup WhatsApp. Pilih pemimpin yang waras, bukan yang waras karena masih bisa korupsi dengan rapi.
Ayo, rakyat Antah Berantah, saatnya jadi pemeran utama, bukan cuma penonton sinetron politik murahan. Biar besok-besok, kita bisa bangga bilang, “Aku hidup di negeri yang waras!” — bukan negeri yang korupsinya bisa diwariskan turun-temurun.
Batu, 1052025 – Diiringi suara angin dan keluhan tukang cilok yang nggak laku gara-gara proyek jalan mandek karena dananya nyangkut di surga pajak.