Jember, garengpetruk.com –
Biasanya kalau Kepala BPBD turun ke kampung, orang-orang langsung panik: “Lho, ini ada apa? Longsor? Banjir bandang? Atau angin puting beliung sedang study tour?” Tapi ternyata… bukan. Di Kelurahan Sumbersari, Kepala BPBD Kabupaten Jember, Bapak Ir. Widodo Julianto, turun gunung bukan untuk evakuasi, tapi untuk sosialisasi. Nah lho.
Acara ini bertajuk Sosialisasi Pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana). Dilaksanakan Selasa, 17 Juni 2026, di Balai Kelurahan Sumbersari, acara ini dihadiri oleh tokoh masyarakat, RT-RW, kader PKK, tokoh agama, karang taruna, guru-guru, serta tiga pilar keamanan—Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan Pak Lurah sendiri. Bahkan hadir pula anggota DPRD Provinsi Jawa Timur Komisi E, Bapak Ahmad Hadinudin, S.Pd.I. Lengkap, tinggal bawa bendera kuning, eh maksudnya, peta rawan bencana.

Destana: Bukan Singkatan Asal-Asalan
Tujuan dari sosialisasi ini sangat mulia: membentuk masyarakat yang tangguh, mandiri, dan siap menghadapi bencana, baik yang datang dari alam, dari lingkungan, bahkan dari kebijakan yang kadang suka nyelonong tengah malam. Desa Sumbersari sendiri dinilai rawan bencana sosial-ekonomi dan lingkungan. Kalau dibiarkan, bisa-bisa nanti bencana datang, yang panik duluan justru aparatnya.
Pak Widodo dalam sambutannya mengatakan bahwa sampai hari ini baru 114 desa di Jember yang sudah terbentuk jadi Destana. Dari 248 desa/kelurahan di Jember, artinya masih banyak yang “tanggung” dan belum “tangguh”.
Pak Lurah Bhatara: Kita Harus Sadar Risiko, Bukan Hanya Sadar Jadwal Arisan
Pak Lurah Sumbersari, Bhatara Pragusta, ST, tampak bersemangat. Ia menyampaikan bahwa warga perlu:
1. Membentuk forum masyarakat tangguh bencana.
2. Sadar bahwa bencana bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan siapa saja bisa jadi korban—bahkan sebelum sempat update status.
Kata Pak Lurah, “Kesadaran akan potensi bencana itu penting. Jangan sampai nanti waktu bencana datang, warga malah sibuk cari powerbank.”
Narasumber dari FPRB: Kita Butuh Simulasi, Bukan Cuma Selfie
Mukhamad Fathoni, S.Kep., Ns., MNS, dari Forum Pengurangan Risiko Bencana Jawa Timur, menjelaskan bahwa masyarakat tidak hanya diajak mendengar ceramah, tapi langsung praktik: membahas peta risiko, menyusun rencana evakuasi, bahkan simulasi penanganan korban. “Warga harus siap bukan cuma saat senam pagi, tapi juga saat sirine tanda bahaya berbunyi,” ujarnya.
DPRD Komisi E: Siap Dukung, Asal Jangan Cuma Saat Pencitraan
Anggota DPRD Jawa Timur dari Komisi E, Ahmad Hadinudin, menyampaikan dukungan penuh terhadap program ini. Ia menekankan pentingnya sinergi antara masyarakat, BPBD, dan seluruh pemangku kepentingan. “Bencana itu bukan urusan satu instansi. Tapi kalau semua saling lempar tanggung jawab, nanti korban malah bingung disuruh evakuasi ke mana,” katanya.
Akhirnya… Kopi, Klepon, dan Canda Tawa
Acara ditutup dengan ngopi bareng. Bukan cuma formalitas, tapi benar-benar suasana akrab. Tak ada sekat antara pejabat dan warga. Tidak ada protokol yang melarang tawa. Semua duduk sama rendah, ngunyah klepon dan nyeruput kopi arabika khas Jember.
Catatan Gareng (yang sok bijak tapi ngena):
> “Kadang yang membuat kita roboh bukan gempa bumi, tapi kebijakan yang goyang-goyang.
Kadang air meluap bukan karena hujan deras, tapi karena saluran tersumbat janji-janji.
Dan kadang yang paling bikin repot, bukan bencananya… tapi ketidaksiapan kita menghadapi bencana.”

Semoga dengan program Destana ini, Desa Sumbersari menjadi contoh desa tangguh bencana yang bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga kokoh secara gotong royong, dan solid dalam menghadapi ketidakpastian. Karena menghadapi bencana itu soal kesiapan, bukan soal keberuntungan.
#GarengPetruk
#SumbersariTangguhTanpaTanggung
#BPBDTurunGunungBukanKarenaLetusanGunung
#RakyatSiapKalauPejabatTurunTanpaSyarat
















