Di sebuah ruang tunggu sekolah di Desa Lali Lupa, di antara suara kipas angin berderit dan deretan nomor antrean yang nyaris macet, terjadi percakapan yang bikin jantung emak-emak copot dan guru-guru mendadak istighfar berjamaah.
Seorang bocil bernama Budi (nama disamarkan, bukan karena sensitif, tapi karena malu) sedang ditanya oleh emaknya yang sedang sibuk mencarikan sekolah lanjutan setelah kelulusan SD.
“Dek, nanti kalau udah besar mau jadi apa?”
“Koruptor, Mak!” jawabnya polos. Senyum. Penuh keyakinan.
Seketika dunia emak berhenti. Wajahnya pucat, suara tercekat, hampir pingsan… bukan karena tekanan darah naik, tapi tekanan moral sosial turun.
Koruptor Sebagai Cita-Cita: Refleksi Negeri +62
“Lho kok koruptor, Dek?” tanya si emak.
“Lha Budi lihat di TV, koruptor senyum-senyum, uangnya ditumpuk pakai plastik, sampai dua orang angkat aja gak kuat! Banyak duitnya, enak hidupnya. Nggak sekolah tinggi juga bisa masuk berita,” katanya enteng.
Kalau ini bukan satire sosial, kami tidak tahu apa lagi yang bisa dibilang. Di usia semuda itu, bocah sudah bisa membaca realita lebih jernih daripada mereka yang duduk di kursi empuk tapi kerja sambil tiduran.
Kekuatan Emak: Pendidikan Karakter Sejati
Namun di tengah keputusasaan, sang emak tidak memilih jalan kekerasan. Tidak ada bentakan, tidak ada cubitan pakai sendal jepit. Hanya sepenggal kalimat:
“Jangan ya, Dek… jangan. Ayo dengar kata Emak!”
Kalimat sederhana, tapi mengandung energi spiritual yang tak bisa dikalahkan oleh pidato motivasi berdurasi 3 jam.
Dengan air mata tertahan dan semangat dagang kue yang tak pernah padam, sang emak menjanjikan akan menyekolahkan Budi hingga sarjana, asal jangan bercita-cita jadi bandit berdasi.
Dari Bocil Korupsi ke Bocah Berbakti
Hari-hari berikutnya menjadi kisah pembelajaran luar biasa. Budi—yang sebelumnya tertarik dunia gelap ala OTT—berubah. Ia membantu emaknya jualan kue keliling. Ia bangun pagi tanpa dibangunin. Ia berdoa agar dagangan emak laku keras, seperti saham buzzer menjelang pemilu.
Budi sadar: bukan uang yang membesarkannya, tapi keringat emak dan doa yang diam-diam mengetuk langit.
Sekolah Harus Seasyik Emak, Bukan Sekaku Aturan
Sekolah bukan hanya tempat nyimak materi, tapi juga nyimak nilai. Belajar harus menyenangkan, bukan membosankan seperti seminar wajib hari Senin. Prinsip asah–asih–asuh harus jadi ruh dalam pendidikan.
Kata para filsuf (dan juga guru BK), guru itu bukan hanya pengisi papan tulis, tapi penghapus ketidaktahuan. Kata “guru” berasal dari bahasa Sanskerta:
-
Gu = gelap,
-
Ru = menghalau.
Jadi guru adalah pengusir kegelapan. Bukan pengusir murid yang lupa bawa PR.
Pendidikan Sepanjang Hayat: From Womb to Tomb
Pendidikan sejati dimulai sejak bayi masih di dalam perut hingga nafas terakhir dihembuskan. Bukan hanya soal pelajaran, tapi tentang menjadi manusia.
Di era abad 21, guru dan pendidik sejati harus membekali siswa dengan 4C:
-
Communication
-
Collaboration
-
Critical Thinking & Problem Solving
-
Creativity & Innovation
Dan tentu, hindari 3A:
-
Angot-angotan,
-
Asal-asalan,
-
Angin-anginan,
…karena kombinasi itu bisa menghasilkan manusia amburadul, kata Petruk sambil ngopi di warung depan sekolahan.
Penutup Gareng-Petruk: Cita-Cita Itu Harus Disemai dengan Nilai
Kalau bocah bisa cita-cita jadi koruptor, itu bukan salah dia. Itu salah tontonan, salah teladan, salah sistem yang bikin maling berdasi lebih diliput daripada petani yang bangun jam 4 subuh.
Tapi kalau masih ada emak seperti emak Budi, yang pakai cinta dan logika untuk mendidik, Indonesia masih punya harapan. Emak adalah guru pertama, dan guru yang baik adalah mereka yang bisa bicara seperti emak—lembut, tapi menohok.
Jadi… “Jangan ya, Dek. Jangan… Ayo dengar kata Emak!”
Karena kata emak lebih mujarab dari kurikulum darurat.
Jakarta, 7 Juli 2025
Harian Nasional Gareng Petruk – Menyentil dengan Cinta, Menertawakan dengan Makna –
















