JAKARTA – Ketika layar kaca dan platform streaming ramai menayangkan film semi-erotis bertajuk “Gowok Kamasutra”, masyarakat pun terbelah. Sebagian penasaran, sebagian menutup mata tapi mengintip dari sela jari. Tapi, yang menarik bukan sekadar adegan sensualnya, melainkan fenomena sosial-budaya yang mengiringi: bagaimana nilai-nilai Jawa, etika, agama, dan tatanan sosial direpresentasikan secara setengah matang, setengah menggoda.
Maka, tim Harian Nasional Gareng Petruk—yang biasa liput stunting dan sengketa tanah desa—kali ini turun ke medan wacana: menguliti film ini bukan dari sisi rating, tapi dari sisi budaya, etika, sosial, dan agama.
Karena film ini bukan sekadar tontonan, tapi juga tonjokan. Dan siapa tahu, juga cerminan.
1. Dari Sisi Budaya: Ketika Tradisi Diperas Jadi Clickbait
Dalam kosmologi Jawa, gowok pernah eksis sebagai relasi sosial unik: lelaki muda yang “dirawat” oleh pria tua, dalam konteks estetika, spiritualitas, dan kadang… ya, seksual. Tapi jangan buru-buru su’uzon. Pada masanya, gowok tak selalu dianggap menyimpang. Bahkan di kalangan bangsawan, ia punya tempat sebagai simbol relasi sosial, bukan sekadar hubungan ranjang.
Namun, ketika istilah ini disandingkan dengan “Kamasutra” dalam film, maknanya langsung digoreng garing jadi komoditas seksual. Bumbu mistik, campur erotika, ditambah dialog bisik-bisik, menghasilkan tontonan yang lebih cocok disebut “Kamasutra KW Super”.
“Ini bukan dokumentasi budaya, tapi eksploitasi budaya. Gowok dijadikan brand, bukan bahan belajar,” ujar Mbok Minah, sesepuh karawitan yang gagal login ke Netflix.
2. Dari Sisi Etika: Antara Seni dan Sensi
Film ini juga mengajak kita bertanya: di mana batas antara seni dan syahwat?
Banyak yang berdalih ini film edukatif, tapi apa iya edukasi mesti pakai sorotan kamera dari sudut tempat tidur?
Etika Jawa dikenal halus, simbolik, penuh unggah-ungguh. Tapi di film ini, simbol disikat jadi simbolik belaka. Batik cuma dipakai di adegan pembuka, selebihnya tinggal kain panjang dan napas terengah.
Kata Petruk, “Kalau ini disebut edukasi budaya, maka sandiwara radio tahun 90-an lebih sopan dan lebih mendidik!”
3. Dari Sisi Sosial: Relasi, Reaksi, dan Represi
Dalam masyarakat Jawa modern, isu tentang seksualitas—terutama homoseksualitas—masih jadi topik yang serba tabu, penuh bisik-bisik, tapi ramai di pencarian Google tengah malam.
Gowok Kamasutra hadir sebagai katalis konflik: antara keterbukaan dan ketertutupan, antara modernitas dan moralitas. Film ini memantik perdebatan sosial, terutama soal apakah identitas seksual seseorang boleh ditampilkan dalam bentuk fiksi tanpa menjadikannya obyek komedi atau syahwat?
Sayangnya, film ini justru lebih sibuk memperlihatkan paha dan dada daripada relasi kuasa, psikologis, atau sejarah sosial yang mendalam.
“Rakyat butuh representasi, bukan sensasi. Tapi ya gimana, kalau sensasi lebih laku di pasaran…” ujar Gareng sambil menatap nasi kucing yang makin kecil porsinya.
4. Dari Sisi Agama: Kebebasan vs Kesesatan?
Agama tentu punya sikap tegas terhadap penyimpangan seksual. Tapi dalam banyak tafsir, agama juga bicara soal kasih sayang, edukasi, dan cara penyampaian yang tidak menyesatkan umat.
Masalahnya, film ini tidak menyajikan solusi, dialog, atau perenungan. Yang ditawarkan justru estetika tubuh, godaan visual, dan narasi yang lebih mirip sinetron tengah malam.
“Kalau niatnya dakwah, mestinya ngajak taubat, bukan ngajak ngintip,” ujar Ustaz TikTok yang pernah viral karena ceramah sambil nyanyi dangdut.
Akhir Kata dari Redaksi Gareng-Petruk: “Yang Telanjang Bukan Tubuhnya, Tapi Nilainya”
“Gowok Kamasutra” adalah contoh bagaimana budaya tinggi bisa diturunkan jadi tontonan rendah, lalu dibungkus dengan label “edukasi”.
Kita tak sedang melarang ekspresi seni, tapi kita pantas bertanya: edukasi macam apa yang membuat penonton lebih ingat posisi ranjang daripada posisi nilai budaya?
Rakyat sudah cukup kenyang dengan kemiskinan, jangan ditambah kenyang dengan tontonan palsu berkedok budaya. Karena dalam hidup bernegara, yang paling menyakitkan bukan tontonan cabul—tapi pemimpin cabul dengan moral ngambang.
Tagar Gareng-Petruk:
#GowokKamasutraTontonanTapiBukanTontonan
#KebudayaanJanganDijadikanCucian
#AntaraEstetikaDanEtika
#GarengNgajiTapiPetrukMasihNonton
#KritikDenganNgakakLebihNusuk