Desa Pesanggrahan, Kota Batu –
Tanggal 15 Juni 2025 jadi hari yang ditunggu-tunggu warga Desa Pesanggrahan. Bukan karena diskon sembako atau konser Rhoma Irama, tapi karena ulang tahun desa ke-169 dirayakan dengan gegap gempita. Mulai dari pawai budaya, pentas seni antar-RW, sampai konser Sabyan yang bikin ibu-ibu berdandan sejak jam 5 pagi—padahal suaminya masih ngorok pakai sarung.
—
RW-RW Unjuk Gigi: Dari Ramayana sampai Roro Jonggrang Naik Pikap
Karnaval tahun ini bukan sekadar pawai jalan kaki. Ini kompetisi budaya terselubung antar-RW dengan gaya ala pentas agung:
RW 01 datang dengan tema “Ramayana: Rama & Shinta”, lengkap dengan Hanoman yang mukanya mirip Pak RT.
RW 02 tampil dengan kisah “Roro Jonggrang”, lengkap dengan Candi dadakan dari kardus bekas mie instan.
Ada pula Wayang Uwong, Tari Borneo, dan beragam pertunjukan adat yang bikin jalanan desa berubah jadi pentas rakyat dengan level nasionalis dan nasional-geografis!
—
Kreativitas Warga, Anggaran Minim, Semangat Maksimal!
Yang bikin kagum, bukan cuma semangatnya, tapi juga kreativitas luar biasa warga:
Barisan gunungan wayang dibuat dari triplek bekas renovasi pos ronda.
Kereta kencana Rama pakai sasis gerobak pasar.
Kostum Shinta dijahit dari taplak meja sumbangan ibu-ibu PKK.
Warga buktiin bahwa dengan anggaran seadanya, mereka bisa bikin acara sekelas Festival Budaya Nasional. Cuma bedanya, ini lebih ikhlas dan nggak ada tanda bintang kecil di anggaran.
—
Panitia Wanti-wanti: Jangan Sampai Karnaval Berubah Jadi Laporan Polisi
Sebelum acara dimulai, panitia mengimbau warga untuk:
> “Cek pintu, kompor, listrik, dan jangan lupa kunci motor, biar nggak jadi korban karnaval.”
Maklum, karnaval itu seru, tapi jangan sampai pulang-pulang malah rumah kebakar gara-gara lupa matiin magic com.
—
Kepala Desa: Budaya Itu Nafas Kita
Pak Imam Wahyudi, Kepala Desa yang murah senyum dan nggak pernah lupa sarung, bilang:
> “Acara ini penting untuk jaga budaya dan mempererat silaturahmi.”
Gareng manggut-manggut sambil nyeruput dawet:
> “Betul, Pak. Di era semua pada sibuk debat di TikTok, warga di sini malah sibuk bikin patung Batara Kala dari karet sandal bekas.”
Rasanya kayak lihat Indonesia yang seharusnya: guyub, kreatif, dan nggak gampang marah.

—
Sabyan Tampil, Warga Ngonten, Budaya Tetap Jadi Bintang
Ketika Sabyan tampil, ibu-ibu pada histeris, bapak-bapak megang tripod HP sambil live Instagram. Tapi yang bikin Gareng bahagia, budaya lokal tetap jadi bintang utama. Sabyan boleh manggung, tapi Roro Jonggrang tetap yang paling cetar.
Tapi Gareng mau nyentil dikit:
> “Jangan sampai budaya kita cuma jadi pajangan saat HUT, terus tidur selama 364 hari berikutnya.”
Pelestarian budaya itu bukan proyek sesaat, tapi perjuangan harian. Bukan sekadar tampil, tapi juga ditanamkan ke anak cucu.
—
Penutup: Pesanggrahan Bukan Cuma Desa, Tapi Negeri Mini Penuh Harapan
Karnaval ini lebih dari sekadar hiburan. Ini bentuk perlawanan halus terhadap kesibukan yang membutakan, terhadap lupa pada akar, dan terhadap budaya instan ala medsos.
Gareng Petruk, sambil duduk di bawah pohon sawo, bilang:
> “Warga sini hebat. Tanpa banyak omong, mereka rawat budaya. Tanpa spanduk muluk-muluk, mereka tunjukkan arti gotong royong.”

—
Penulis: Eko Windarto
Versi Satire: Gareng Petruk – Lulusan Fakultas Kehidupan Jalanan dan Alumni Fakultas Lelucon Lintas RW
Sumber: Catatan Lapangan, Obrolan Warga, dan Suara Kentongan yang Tak Pernah Bohong
—
> Sebab di tengah kenaikan harga cabai dan gaduh politik, kebudayaan dan tawa adalah harapan terakhir rakyat kecil.















