Jakarta, GarengPetruk.com – Ketika rakyat sibuk mikir mau makan apa besok pagi, eh para bos BUMN malah sibuk dagangin udara. Bukan udara yang bisa disedot buat bikin balon, tapi frekuensi negara—yang mestinya jadi milik rakyat, malah diperlakukan kayak tanah warisan kakek. Kalau ini bukan dagang sapi, ini dagang sinyal, Bos!
Telkomsel dan PT KDN kini sedang jadi “bintang sinetron” di gedung antirasuah. Tapi ini bukan sinetron yang tamat satu episode. Ini telenovela, dengan bumbu korupsi, monopoli, dan skenario gelap yang kabarnya lebih horor dari cicilan rumah. Katanya, Direktur Utama Telkomsel, Pak Nugroho, ngebut tandatangani kerja sama dengan KDN cuma dalam sehari. Waduh, cepat banget, kayak orang ngejar diskon cuci gudang!
Padahal biasanya, proses kerja sama di BUMN itu ribetnya setengah mati. Surat menyurat, telaah hukum, persetujuan dewan direksi, sampai nunggu pejabat yang lagi ngopi dulu. Tapi ini? Cusss langsung ACC. Jangan-jangan ada “kode alam” yang bikin semua jadi serba cepat.
Dagang Angin Beraroma Singapura
Bapak-bapak di Telkomsel juga dituding lebih cinta dolar Singapura ketimbang rupiah. Bayangin aja, kata Indonesian Audit Watch (IAW), keuntungan Telkomsel ngalir ke Singtel (perusahaan dari Singapura) lewat jalur “royalti cinta”. Totalnya? Rp 1,2 triliun per tahun, dibayar 30% lebih mahal dari harga pasar. Wah, cinta memang bikin buta harga, ya!
Lalu, akibat cinta buta ini, negara rugi Rp 450 miliar per tahun. Itu duit bisa buat bangun ribuan sekolah, atau subsidi kuota internet buat rakyat biar bisa nonton drakor tanpa buffering!
Monopoli SMS A2P: Dari Mustika ke KDN, dari Intel ke Entel?
Ada juga kisah mistis soal bisnis A2P SMS—SMS korporasi yang dikirim massal oleh bank, e-commerce, dan lainnya. Biasanya ini urusan penting, dan sebelumnya dikelola PT Mustika Indonesia yang disebut-sebut punya hubungan dengan lembaga intelijen. Tapi tiba-tiba, Mustika dilengserkan tanpa upacara dan diganti KDN—perusahaan yang baru nongol, kayak warung kopi dadakan.
Hebatnya, kerja sama ini disahkan dalam waktu sehari. Kalau di kantor kelurahan aja ngurus surat pengantar bisa seminggu, ini kenapa di Telkomsel bisa sontak kayak disiram air panas?
Lebih serem lagi, kata narasumber misterius, pemindahan bisnis ke KDN bisa ganggu kerja intelijen negara. Wah, jangan-jangan nanti sinyal mata-mata kita keinterupsi sama SMS promo pinjol ilegal?
Kisah 84 Miliar dan Dua Bidadari
Kekayaan Pak Nugroho juga bikin publik melongo. Dalam LHKPN 2023, kekayaannya tercatat Rp 84,28 miliar. Tapi ada yang curiga, kenapa bisa ada aliran dana ke dua perempuan berinisial ADR dan FE? Apa ini hanya hubungan konsultasi pajak… atau lebih dari itu?
Koalisi Mahasiswa Anti Korupsi (KMAK) pun langsung melaporkan dugaan korupsi ke KPK. Katanya, ada ketidaksesuaian antara jumlah kekayaan dan dugaan aliran dana gelap. Mungkinkah Pak Dirut ini punya “rekening ganda” seperti cinta segitiga di FTV?
Audit BPK: Sudah Teriak, Tapi Pemerintah Tuli
Dari audit BPK tahun 2015 sampai 2023, banyak suara sumbang soal biaya hak penggunaan frekuensi yang cuma 0,576%—paling murah se-Asia Tenggara. Vietnam aja bisa narik 5%. Tapi Kominfo cuek bebek. Mungkin karena lebih sibuk bikin konten tiktok edukasi hoaks ketimbang benahi perampokan negara.
Kalau tarif dinaikkan ke 2% saja, negara bisa dapat Rp 20 triliun per tahun. Tapi sayangnya, yang naik bukan tarifnya, malah mark-up-nya. Ya ampun, negeri ini sungguh ramah—ramah bagi pencoleng berdasi.
Bukan Kasus Biasa, Ini Urusan Kedaulatan!
Iskandar dari IAW mengingatkan, ini bukan sekadar laporan keuangan yang amburadul, ini urusan kedaulatan digital! Jangan sampai frekuensi—harta tak terlihat tapi vital—malah jadi ATM asing. Bukan cuma ekonomi yang jebol, tapi juga keamanan nasional yang rawan disadap.
Solusinya? IAW menuntut:
Audit forensik total BLU BAKTI Kominfo.
Penarikan kembali saham strategis dari SingTel.
Cabut lisensi operator yang nakal.
Hukum direksi yang terbukti main mata.
Dan yang paling penting: kembalikan logika ke dalam pengelolaan BUMN!
Gareng Petruk Menutup: “Jangan Sampai Negara Ini Jadi Komedi Tragis!”
Wahai rakyat jelata, ketika kalian sibuk cari sinyal gratis buat TikTok-an, para elit justru dagang sinyal untuk kekayaan pribadi. Ketika kalian bayar kuota mahal, mereka justru transfer keuntungan ke luar negeri tanpa pajak.
Sudah saatnya kita bilang: “Cukup dagelan ini!” Jangan sampai negara ini jadi stand up comedy korupsi tanpa panggung keadilan. Karena kalau frekuensi saja bisa dijual, jangan-jangan nanti nama Indonesia juga bisa disewakan.
Laporan ini disusun oleh: Tim GarengPetruk.com Investigasi Spesial,
Karena Menulis Kebenaran Butuh Keberanian dan Sedikit Guyonan.