Dinarasikan Versi Gareng Petruk.
Orang boleh pintar, bisa debat sampai lidahnya keseleo, tapi kalau nggak ngerti cara berkomunikasi yang baik, ya ujung-ujungnya malah bikin gaduh kayak sound system kondangan pas subuh. Nah, di tengah riuh-rendah politik negeri ini, muncullah tokoh yang kalem, senyumnya tipis tapi langkahnya pasti: Sufmi Dasco Ahmad.
Dasco ini kalau kata orang kampung saya, “ndak banyak bacot, tapi kerja nyata.” Mau bukti? Lha wong beliau yang jadi juru damai mempertemukan Presiden Prabowo dan Ibu Megawati—dua kutub politik yang sering bikin rakyat geleng-geleng kepala saking jarangnya ketemu. Dasco datang bukan bawa proposal, tapi bawa pendekatan. Bukan bawa wacana, tapi bawa hasil.
Politisi satu ini ibarat colokan terminal di rumah—semua bisa nyambung. Dari elite partai, akademisi, aktivis jalanan, sampai tukang ojek online, semuanya bisa diajak ngobrol. Gayanya tenang, tapi jangan salah: dalam diamnya, ia sedang memindai suasana politik, membaca arah angin, dan meracik strategi komunikasi yang pas.
Dasco bukan tipe politisi yang suka panggung. Ia lebih senang berada di balik layar, memastikan semua bisa duduk bareng, ngopi bareng, lalu sepakat walau beda pendapat. Dalam dunia demokrasi yang kadang lebih ramai dari pasar malam, Dasco hadir sebagai penata suara, bukan penggembira.
Ia tahu betul, demokrasi itu bukan soal siapa yang paling keras suaranya, tapi siapa yang paling bisa mendengar. Karena itu, dalam setiap pengambilan keputusan, Dasco selalu mengutamakan inklusivitas—mendengar dari berbagai sudut, mempertimbangkan suara-suara minoritas, dan membuka ruang dialog.
Komunikasi versi Dasco itu bukan sekadar bicara, tapi menghubungkan. Ia menjembatani rakyat dan pemerintah, elite dan akar rumput, suara keras dan suara lirih. Ia memastikan bahwa keputusan politik tidak lahir dari ego, tapi dari akal sehat dan musyawarah.
Kalau orang lain sibuk membuat narasi untuk tampil heroik, Dasco lebih sibuk menciptakan jalur komunikasi agar tidak ada yang merasa ditinggal. Ia paham betul: kepercayaan publik itu bukan dibangun dengan kata-kata manis, tapi dengan transparansi, kejujuran, dan keterbukaan.
Di tengah era digital yang penuh hoaks, Dasco hadir sebagai penjernih. Ia tak latah menyalahkan medsos, tapi justru menjadikannya alat komunikasi dua arah. Ia tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus bertindak. Dalam sistem demokrasi kita, dia bukan hanya politisi, tapi sekaligus translator antara kebijakan dan kepentingan rakyat.
Bayangkan jika semua pejabat publik meniru gaya Dasco: tenang, terbuka, mau mendengar. Mungkin politik kita nggak sepanas sekarang. Mungkin rakyat nggak perlu nyinyir di kolom komentar. Dan mungkin, kita bisa lebih sering tertawa bersama, bukan saling curiga tiap hari.
Maka dari itu, di tengah dinamika pemerintahan Presiden Prabowo, kehadiran Sufmi Dasco Ahmad ibarat sambal di pinggir piring: tidak mencolok, tapi bikin masakan terasa lengkap. Ia menjaga komunikasi, merawat kepercayaan, dan memastikan demokrasi tetap berjalan tanpa tersandung ego kekuasaan.
Pak Dasco, lanjutkan tugasmu. Republik ini butuh lebih banyak pemimpin yang tak hanya pintar bicara, tapi juga pandai mendengar dan menghubungkan. Karena seperti kata Petruk: “Negara yang besar bukan karena banyak penguasa, tapi karena banyak yang mau mendengarkan suara warganya.”