Di sebuah sudut kamar yang sunyi, seorang lelaki tua duduk menatap jendela.
Matanya memandang jauh ke cakrawala merah, senja yang perlahan padam.
Di dada yang mulai rapuh, tersimpan sesak yang tak pernah sempat dikeluhkan.
Ia resah…
Bukan takut mati, tapi resah mati di tanah merdeka yang tak lagi ia kenali.
“Aku akan pergi,” batinnya,
“meninggalkan istri yang menua bersamaku, dan anak-anakku yang belum sempat menikmati damai negeri ini.”
Mereka tumbuh dalam bayang-bayang kekurangan,
padahal dahulu, ia menanam harapan dalam tiap tetes keringatnya.
Ia resah meninggalkan mimpi-mimpi yang belum sempat tumbuh,
janji-janji yang dulu ia titipkan pada bendera yang pernah ia kibarkan dengan air mata.
Usianya mungkin lanjut,
tapi ia tak pernah mencicipi masa tua yang seharusnya menjadi hadiah dari pengabdian.
Dalam diam, ia mengingat kembali derap langkah saat muda,
ketika tubuhnya lentur dan semangatnya menyala demi negeri ini.
Indonesia, seluruh hidupnya telah ia serahkan:
darahnya, untuk tanah ini;
keringatnya, untuk sawah petani;
tenaganya, untuk membangun jalan dan jembatan;
doanya, untuk masa depan bangsanya.
Namun kini, di ujung nafasnya,
resahnya tak terbendung.
Ia melihat sawah-sawah ditinggalkan,
bukan karena kekeringan, tapi karena hasilnya dicuri para tikus berdasi.
Ia melihat sekolah-sekolah tanpa buku,
bukan karena tak ada murid, tapi karena anggaran pendidikannya dikorupsi.
Ia melihat rakyat membeli bensin dengan setengah upahnya,
padahal negeri ini kaya akan sumber daya.
Dan ia pun bertanya,
“Untuk siapa semua ini? Untuk rakyatku, atau untuk para oportunis yang menari di atas penderitaan?”
Tangannya bergetar.
Ia menulis surat terakhirnya:
> “Oh Ibu Pertiwi, aku hanyalah lelaki tua yang resah.
Aku tak menyesal mengabdi,
tapi aku kecewa pada mereka yang tak mengerti arti pengorbanan.
Jika kelak aku tiada, tolong sampaikan pada anak-anakku:
perjuangan belum selesai.
Negeri ini butuh hati, bukan hanya janji.”
Lalu, ia menutup matanya perlahan.
Di peluk senja, lelaki tua itu pergi…
meninggalkan resahnya pada angin,
dan harapnya pada generasi yang lebih berani.