Di sebuah kota tua yang dulunya dipanggil Leningrad, sebelumnya Petrograd, dan sebelumnya lagi St. Petersburg—(pokoknya kayak warung Padang, sering ganti nama tapi rasanya itu-itu aja)—lahirlah seorang bocah lelaki mungil dengan nama yang, maaf-maaf nih, bikin sejarah merinding: Vladimir.
Namanya bukan sembarangan, lho. Kalau di Indonesia, mungkin kayak dikasih nama “Diponegoro Soekarno Prabowo”—biar dari bayi udah nyiapin diri jadi tokoh sejarah. Tapi Vladimir ini lain. Dia lahir dari reruntuhan perang, besar di antara bau bubur tentara dan nyanyian propaganda, lalu jadi besar—secara literal dan politikal—dengan satu cita-cita: bikin Rusia bangkit, syukur-syukur bikin Barat gemeter.
—
Putin, Anak KGB yang Ngambek Berkepanjangan
Putin ini, sodara-sodara, bukan anak sembarangan. Dia bukan alumni TikTok University macam generasi sekarang. Beliau jebolan KGB, yaitu kampus elit tempat orang belajar cara menyamar jadi meja rias, masuk ke negara orang lewat ventilasi AC, dan menyusun strategi geopolitik sambil ngopi tanpa gula.
Dan dari sanalah dia membawa luka: luka karena Uni Soviet bubar kayak band boyband Korea yang ditinggal satu personel. Tapi Putin bukan anak baper yang curhat di Twitter. Dia anak KGB, Bung! Dia nggak nangis, dia bikin negara comeback!
Cita-citanya sederhana tapi ngegas: bukan bikin Rusia hebat, tapi bikin Rusia takutin lagi. Jangan salah paham, dia bukan penggemar perang, dia hanya penggemar kehidupan dengan senjata nuklir di sebelah ranjang.
—
Politik Versi Dingin Beku: Tatapan Putin Lebih Tajam dari Ujung Rudal
Putin ini kalau ngomong, bisa bikin suhu ruangan drop 10 derajat. Gak usah banyak bicara, cukup melirik, dunia bisa panik. Beda sama politisi kita yang kalau ngomong bisa 45 menit tanpa titik koma, tapi isinya masih nyalahin masa lalu.
Ia tipe pemimpin yang percaya, diam itu emas, tapi rudal itu platinum. Kalau perlu, duduk tenang sambil nonton Barat panik. Dalam wawancara sama Tucker Carlson, bukannya ngomongin invasi Ukraina, dia malah nostalgia tentang abad ke-13. Lah ini pemimpin apa sejarawan yang gagal move on?
—
Antara Cinta Tanah Air dan Dendam Lama
Putin melihat Rusia kayak mantan istri yang dulu diceraikan secara tidak adil. Sekarang dia ingin balik lagi, tapi dengan syarat: semua keluarga mantan juga harus akur dan ikut pindah rumah. Makanya Ukraina dibilang bukan negara sendiri, lebih kayak sepupu jauh yang kabur dari rumah tapi masih pakai alamat KTP lama.
Kalau Barat protes, yaa Putin jawab dengan tatapan siberia-nya: “Bukan urusan kamu, Bro. Ini masalah keluarga besar.”
—
Putin Bukan Lenin, Bukan Stalin. Tapi Bisa Jadi Versi Remix Keduanya.
Lenin dulu pengen bubarin sistem. Stalin pengen sistem tunduk padanya. Nah, Putin? Dia kayak anak muda yang lihat puing-puing istana, lalu berkata: “Lumayan ini, kita renov aja. Siapa tahu bisa Airbnb-in ke nostalgia sejarah.”
Makanya dia rangkul Gereja, peluk nasionalisme, dan sedot kembali aura kekaisaran. Bukan untuk revolusi, tapi untuk rebranding. Kalau Lenin itu seperti demo mahasiswa, Putin lebih seperti tukang restorasi gedung tua: pelan, rapi, tapi tahu-tahu udah berdiri tinggi dan megah—dan kamu nggak sadar kapan dikerjainnya.
—
Perdamaian ala Putin: “Kalau Aku Menang, Itu Damai.”
Buat Putin, perdamaian itu bukan hasil kompromi. Tapi hasil pengakuan bahwa Rusia itu harus menang dulu baru dunia boleh tenang. Ini bukan perdamaian ala Gandhi, ini perdamaian ala ayah mertua galak: “Kamu boleh masuk rumahku, tapi lepas sepatu, lepas ego, dan jangan nyenggol harga diri.”
—
Putin, Lelaki Tua yang Masih Tajam seperti Bulu Mata Jambret
Sekarang usia beliau udah kepala tujuh, tapi jangan harap dia bakal pensiun dan main catur di taman. Dia tipe pemimpin yang, kalaupun jalan udah pelan, tatapannya masih bisa bikin drone AS minggir. Rambut boleh menyusut, tapi ambisi tetap sebesar Eurasia.
Putin itu seperti semangat nasionalisme kita tiap musim Pemilu: tidak pernah benar-benar mati, cuma sedang menyusun strategi baru.
—
Akhir Kata dari Gareng
Putin mungkin bukan pahlawan. Tapi dia bukan juga monster dari film Marvel. Dia adalah gejala, bagian dari penyakit global bernama nostalgia kekuasaan dan dendam sejarah. Dunia berubah, tapi beberapa pemimpin tetap hidup di masa lalu—karena di masa lalu mereka merasa lebih besar, lebih utuh, dan lebih ditakuti.
Kalau kamu tanya siapa dia? Gareng jawab: dia adalah mimpi lama yang menolak bangun.
Dan hati-hati, mimpi lama itu kadang bisa jadi kenyataan buruk buat dunia yang malas belajar sejarah.
—
Cimahi, 9 Juni 2025
(Gareng nulis ini sambil nonton ulang film James Bond. Yang jadi musuhnya, mirip banget kayak Putin.)