Jakarta — Dari sumber ANTARA, dan sedikit bocoran dari alam bawah sadar Gareng, kabar anyar teka-neka: Presiden Prabowo Subianto bakal turun langsung kayak Batman tapi bawa peta, bukan batarang, buat nyelesein sengketa empat pulau yang jadi rebutan antara Aceh dan Sumatera Utara. Ciee… presiden baru langsung disambut urusan pulau-pulauan. Bukan liburan, tapi rebutan!
Empat pulau mungil tapi punya hati besar — Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang — jadi rebutan administratif antara dua provinsi yang sama-sama merasa “punya hak waris geografis.” Sejak jaman dinosaurus reformasi, dua dekade lebih, perkara ini udah kayak sinetron yang nggak kelar-kelar. Episode panjang, rating tetap tinggi, ending? Belum jelas!
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, ngumumin kalau Pak Presiden Prabowo bakal ambil alih kasus ini. Ora main-main lho! Presiden langsung yang turun. Biasane presiden nanganin diplomasi luar negeri, sekarang malah diplomasi “dalam negeri.” Lha piye maneh? Dua provinsi satu negara kok rebutan tanah segede kacang atom.
> “Presiden akan memberikan keputusan final,” ujar Dasco. Wah, ini kayak wasit VAR di Piala Dunia. Bedanya, yang ini VAR-nya versi nasional: Verifikasi Administratif Republik!
Apa Kabar Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi?
Iya, jenenge aja udah rumit kayak tugas akhir mahasiswa semester sepuluh. Tim ini isinya gabungan Kementerian Dalam Negeri, Kelautan, BIG, LAPAN, sampai TNI yang ahli urusan laut dan darat. Jadi kalau mau cari pulau, nggak usah naik kapal. Cukup duduk di ruang rapat dan debat koordinat!
Mereka udah kerja dari tahun 2008 lho, bahkan sebelum iPhone masuk resmi ke Indonesia. Tapi hasilnya? Ya itu… pulau-pulau tadi belum sempat “dibakukan.” Kayak mantan yang udah dekat tapi gak jadi nikah. Dalam verifikasi terakhir, Kemendagri lewat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, menyatakan keempat pulau masuk Sumatera Utara. Langsung, masyarakat Aceh: “Heh! Itu kan punya kami!”
Aceh Geram, Sumut Lega, Presiden Bingung?
Masyarakat Aceh dan DPRA pun ngamuk lembut. Mereka protes keras, tapi tetap sopan, karena masih cinta NKRI. Tapi cinta tanpa pengakuan kadang menyakitkan, bukan?
Sumatera Utara bilang, “Ini hasil verifikasi, loh!”
Aceh jawab, “Verifikasi siapa? Kapan? Kenapa kami gak diajak ngopi dulu?”
Wah, jadi kayak warisan kakek yang lupa ditulis di surat wasiat. Semua merasa berhak, tapi nggak ada saksi mata. Jadinya, rebutan tanah yang seharusnya bisa dipakai buat budidaya, malah jadi bahan sengketa.
Prabowo: Dari Kuda ke Pulau
Prabowo, yang dulu sering tampil gagah naik kuda, sekarang akan naik kapal birokrasi. Tapi bukan untuk main-main. Beliau katanya akan kasih keputusan final minggu depan. Semoga bukan final kayak Liga Indonesia yang suka berubah jadwal.
Gareng mau usul: daripada rebutan, mending empat pulau itu dijadiin “Pulau Persaudaraan Nusantara.” Dijaga bareng, dikelola bareng, hasilnya dibagi bareng. Kalau pemerintah mau keren, jadikan itu zona hijau buat pendidikan maritim dan konservasi laut. Biar anak cucu gak cuma tahu pulau dari Google Maps.
Sindiran Tipis tapi Nyata:
> Kalau urusan administrasi aja bisa sampai dua dekade gak kelar, piye nasib rakyat kecil yang lahannya diserobot korporat, terus disuruh lapor “ke kementerian”?
Kalau rebutan pulau sekecil itu bikin dua provinsi panas, berarti kita masih butuh banyak pendingin dalam bentuk: kebijakan adil dan pemimpin waras.
Akhirul kalam, Pak Presiden, monggo! Bapak turun tangan, tapi jangan lupa bawa kompas hati. Jangan sampai keputusan administratif malah bikin luka historis. Pulau boleh kecil, tapi harga diri dan identitas itu nggak bisa direduksi jadi selembar kertas ketetapan.
Salam dari Gareng, yang gak punya pulau, tapi punya harapan.
“Merah-putih bukan sekadar warna, tapi janji bahwa setiap jengkal negeri ini harus adil dan terbuka.”
—
Sumber: ANTARA (dengan bumbu khas Gareng)
Penulis: Eko Windarto
Editor: Gareng “Petani Makna” Petruk















