Jakarta — Dalam suasana penuh diplomasi tapi dengan secuil aroma perdebatan, Jaksa Agung ST Burhanuddin menerima kunjungan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto, Senin (25/11). Pertemuan berlangsung di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jakarta, dengan sederet agenda yang, meski berat, dikemas dalam bingkai “sinergi demi bangsa”.
Agenda utama: obrolan soal narapidana. Ada yang mau dipindahkan ke negeri asalnya, ada pula yang entah kapan bakal pindah dari penjara over kapasitas. Transfer of prisoner, istilah kerennya. Seolah memindahkan napi ke negara asal adalah solusi instan, meski mungkin mereka lebih khawatir soal “napi pindahan” dari negeri jiran yang membawa masalah baru.
Over Kapasitas: Seperti Mi Instan yang Tumpah
Lapas yang over kapasitas menjadi sorotan utama. Gambaran sederhananya, ini seperti memasak mi instan di panci kecil: air tumpah ke mana-mana. Tapi bedanya, mi bisa diatur, sementara lapas? “Kalau dibiarkan seperti ini, kita bisa lebih sibuk memindahkan narapidana daripada menindak korupsi,” seloroh seorang jaksa yang tak mau disebut namanya.
Namun, ada secercah harapan: Rubasan alias Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara akan dialihkan ke Kejaksaan Agung. Dengan demikian, jaksa bisa fokus menjaga bukti tanpa harus memikirkan narapidana yang menambah daftar antrian penghuni lapas.
Transfer Narapidana: Memangnya Kita Jasa Ekspedisi?
Salah satu pembahasan yang mencuri perhatian adalah permintaan dari negara-negara lain agar Indonesia “mengembalikan” narapidana asal mereka. Ini tentu jadi dilema. Apakah ini solusi atau sekadar memindahkan masalah? “Kalau transfer prisoner ini berhasil, mungkin kita perlu buka layanan ekspedisi khusus napi. Siapa tahu lebih cuan daripada membangun lapas baru,” ujar seorang pejabat, setengah bercanda.
Dari SDM Hingga Anggaran, Semua Demi Bangsa dan Negara
Menteri Agus juga menyinggung soal pengembangan sumber daya manusia di kementeriannya. Kejaksaan Agung diharapkan bisa menjadi mentor dalam pengelolaan program kerja dan anggaran. “Syukur Alhamdulillah, dukungan Jaksa Agung membuat kami optimis,” ujar Agus. Tapi, optimisme ini tentunya akan diuji oleh realita di lapangan, dari anggaran yang seringkali “melekuk” hingga birokrasi yang gemar menyimpan arsip.
Akhir Kata: Janji Tinggal Janji?
Pertemuan ini, seperti kebanyakan agenda resmi lainnya, penuh harapan dan janji manis. Namun, publik tahu betul, agenda seperti ini seringkali menjadi sekadar formalitas. Transfer napi mungkin jadi headline, tapi solusi untuk lapas over kapasitas bisa jadi hanya masuk daftar tunggu—seperti napi yang menunggu giliran tidur di lantai penjara.
Pada akhirnya, semoga pertemuan ini tidak hanya menghasilkan “over kapasitas” janji, melainkan aksi nyata untuk masalah yang sudah akut ini. Kalau tidak, publik bisa bertanya: Yang dipindahkan, narapidana atau tanggung jawabnya?
















