Oleh: Penikmat Hukum Gareng Petruk
Ada apa dengan hukum? Mengapa ia terasa jauh dari hidup kita, padahal ia seharusnya berada di tengah-tengah kita? Bayangkan hukum seperti kopi. Di satu cangkir, ia pahit tanpa gula, menyentuh lidah dengan ketelanjangan rasa. Di cangkir lain, ia manis dengan gula berlebih, menutupi pahit yang seharusnya ada. Dua cangkir ini adalah wajah hukum di negeri ini: pahit untuk mereka yang tidak punya kuasa, manis untuk yang mampu membeli rasa.
Tapi, apakah hukum hanya soal rasa di cangkir? Atau sebenarnya, hukum adalah tentang bagaimana cangkir itu kosong?
Hukum: Kosong, tetapi Bermakna
Seorang filsuf pernah berkata, “Manusia mengisi makna dalam sesuatu yang kosong.” Maka, bukankah hukum seharusnya seperti cangkir kosong? Ia tidak menawarkan rasa, tidak memihak, hanya menjadi wadah netral untuk apa pun yang dituangkan di dalamnya.
Namun, kenyataan berkata lain. Di tangan segelintir orang, cangkir itu diisi racikan yang sesuai dengan selera pemesan. Hukum menjadi alat untuk menciptakan rasa tertentu, bukan lagi ruang kosong yang netral. Dalam konteks ini, hukum kehilangan jati dirinya. Ia tidak lagi menjadi ruang untuk mencari keadilan, tetapi panggung untuk memainkan kepentingan.
Nyeleneh, tetapi Tepat: Hukum sebagai Bayangan
Mari kita lihat hukum dari sudut pandang yang lebih absurd: hukum adalah bayangan. Bayangan tidak pernah bisa berdiri sendiri, ia hanya ada karena ada sumber cahaya. Sumber cahaya itu adalah masyarakat, adat, nilai, dan moral. Tapi apa jadinya ketika cahaya itu meredup, atau malah dibelokkan oleh lensa kekuasaan? Bayangan hukum pun berubah menjadi sesuatu yang tak dikenali: bengkok, kecil, atau bahkan lenyap sama sekali.
Bayangkan sebuah ruang sidang. Kursi hakim adalah tempat cahaya itu seharusnya memancar. Namun, apa jadinya jika hakim bukan lagi cermin keadilan, melainkan hanya alat proyeksi kepentingan tertentu? Hukum tidak lagi menjadi bayangan masyarakat, melainkan karikatur keadilan.
Renungan: Hukum adalah Kekosongan yang Harus Kita Isi
Hukum, pada dasarnya, adalah sesuatu yang kosong. Ia menunggu untuk diisi dengan makna. Tapi siapa yang mengisinya? Dan dengan apa ia diisi?
Jika diisi dengan moral, hukum menjadi etis.
Jika diisi dengan kekuasaan, hukum menjadi tiran.
Jika diisi dengan uang, hukum menjadi barang dagangan.
Tapi jika diisi dengan keadilan, hukum akan menjadi alat pembebasan.
Masalahnya, kita sering lupa bahwa hukum itu netral. Ia tidak pernah salah atau benar. Yang membuatnya salah atau benar adalah manusia di baliknya. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, bahkan kita sebagai masyarakat adalah pengisi cangkir hukum itu.
Sudut Pandang Baru: Hukum sebagai Kesunyian
Pernahkah kita berpikir bahwa hukum seharusnya diam? Dalam diam, ia tidak memihak. Dalam kesunyian, ia mempersilakan semua pihak berbicara. Tapi hukum kita sering kali terlalu berisik: penuh opini, penuh tekanan, penuh kepentingan.
Hukum sebagai kesunyian adalah hukum yang memberi ruang bagi semua suara. Ia tidak langsung menjawab, tetapi mendengarkan. Ia tidak terburu-buru memutuskan, tetapi merenung. Kesunyian dalam hukum adalah ruang di mana keadilan menemukan jalannya sendiri.
Pemikiran Baru: Hukum sebagai Paradoks
Hukum adalah paradoks. Ia keras, tetapi harus lentur. Ia tegas, tetapi harus manusiawi. Ia pasti, tetapi harus fleksibel. Paradoks ini bukan kelemahan, melainkan kekuatannya.
Bayangkan seorang hakim. Ia memutuskan sesuai undang-undang, tetapi ia juga harus mempertimbangkan rasa keadilan. Di sini, hukum menunjukkan wajah gandanya: sebagai teks yang kaku, tetapi juga sebagai roh yang hidup.
Kesimpulan: Mari Mengisi Cangkir Kosong Itu
Kita kembali ke awal. Hukum adalah cangkir kosong. Pertanyaannya, mau kita isi dengan apa?
Apakah dengan pahitnya kepentingan pribadi?
Apakah dengan manisnya janji-janji kekuasaan?
Ataukah dengan rasa adil yang sederhana, yang bisa diterima oleh semua orang?
Gareng pernah berkata kepada Petruk, “Truk, hukum itu bukan alat. Hukum itu ruang. Ruang buat orang orang yang masih percaya bahwa keadilan itu masih ada.”
Petruk menjawab, “Bener, Geng. Tetapi hukum harus adil, bukan hanya buat orang kaya dan berkuasa saja.”
Maka, mari kita berhenti mengeluh tentang hukum yang pahit atau manis. Mari kita mulai mengisi cangkir itu dengan rasa yang benar, rasa keadilan. Karena pada akhirnya, hukum hanyalah wadah, dan kita semua adalah pembuat rasa.
Gareng Petruk: Merenung dengan Nyeleneh, Berpikir dengan Serius.